Jakarta, (ANTARA News) - Setiap tahun wilayah Jakarta mengalami penurunan tanah sekitar 4-6 cm akibat penggalian dan pemanfaatan air tanah yang berlebihan, untuk itu pemerintah diharapkan menyusun kebijakan yang pro lingkungan hidup, demikian Bank Dunia. "Penggalian air tanah terparah dilakukan oleh industri yang bisa menggali hingga lebih dari 100 meter ke bawah tanah, seperti industri di kawasan Cengkareng," kata Spesialis infrastruktur utama Bank Dunia untuk Indonesia, HongJoo Hahm di Jakarta, Kamis. Sedangkan sejak 1994, katanya, tanah di Jakarta sudah menyusut hingga 1,2-1,5 meter sehingga Jakarta telah mengalami kebanjiran selama beberapa kali dalam rentang waktu 14 tahun terakhir itu. "Hanya 55 persen penduduk Jakarta yang mendapat akses air pipa (PAM), sedangkan sisanya terpaksa mengambil dari air tanah. Tapi itu tidak separah industri," jelasnya. Oleh karena itu, ia mengusulkan kepada pemerintah agar menegakkan aturan mengenai pemanfaatan air tanah oleh industri, serta memperbanyak akses air minum bagi masyarakat. "Yang dibutuhkan adalah uang, determinasi dan komitmen," katanya. Penyelesaian menyeluruh lainnya, dijelaskan Hahm, juga terkait dengan pengelolaan sampah padat serta sanitasi. "Hanya tiga persen penduduk Jakarta memiliki akses ke got, padahal lahan bawah tanah di Jakarta didominasi `septic tank`. Sehingga kurangnya got, menyebabkan air tanah menjadi terkontaminasi," katanya. Sementara itu, Deputi Kemeneg PPN/Bappenas bidang Sumber Daya Alam Umiatun Sri Hastuti mengatakan, masih ada pelanggaran terhadap Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). "Sudah ada Amdal, tapi ditegakkan atau tidak? Suatu kota idealnya berapa penduduknya, rumahnya berapa. Jika sanitasi tidak jalan, kesehatan masyarakat terancam," katanya. (*)

Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008