Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia dan Luxemburg sepakat mencari solusi internasional untuk mengatasi krisis pangan, yang mengancam sejumlah negara di dunia. Hal tersebut dikemukakan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dan Menteri Luar Negeri Luxemburg Jean Asselborn dalam jumpa pers bersama di Jakarta pada Kamis. "Kami membahas secara khusus masalah krisis pangan dan sepakat agar dunia mencari solusi terhadap masalah itu," katanya. Menurut Menteri Luar Negeri Indonesia, terkait dengan ancaman krisis pangan itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara khusus mengusulkan Sekertaris Jenderal PBB menyelenggaraan pertemuan tingkat tinggi untuk mencari solusi internasional. "Sekalipun Indonesia beruntung mengalami surplus beras tahun ini, sehingga perdebatan di dalam negeri lebih berkisar pada keperluan untuk ekspor atau menyimpannya sebagai cadangan dalam negeri, Indonesia sangat peduli dengan masalah krisis pangan itu," katanya. Sementara itu, Menteri Luar Negeri Luxemburg mengatakan bahwa negara Afrika dan Amerika Latin sangat terpengaruh krisis pangan tersebut, karena negara di dua benua tersebut pada umumnya mengimpor 15-16 persen dari kebutuhan bahan pangannya. Asselborn menilai dunia perlu menggalang solidaritas bagi negara yang terancam krisis pangan itu. Sementara itu, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon pada akhir April mengumumkan akan memimpin gugus tugas, yang akan menggalang upaya PBB menangani berbagai krisis global akibat peningkatan harga pangan dunia. Gugus tugas bernama Task Force on Global Food Crisis tersebut terdiri atas kepala badan, dana dan program PBB, Bretton Woods --lembaga moneter--, ahli PBB serta lembaga terkemuka internasional. Menurut Ban, kepala badan PBB (CEB), melihat bahwa harga pangan telah menjadi tantangan global, yang belum pernah terjadi. Oleh karena itu, CEB sepakat tentang langkah nyata, yang harus diambil dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Pada saat sama, CEB meminta masyarakat internasional, terutama negara maju, segera membantu pendanaan penanganan darurat senilai 755 juta dolar AS melalui Program PBB untuk Pangan Dunia (WFP). Sesjen PBB asal Korea Selatan itu mengingatkan bahwa tanpa pendanaan penuh untuk kebutuhan darurat, dunia bisa diartikan tengah membiarkan munculnya risiko kelaparan, yang semakin bertambah, serta kekurangan gizi dan kerusuhan sosial dengan skala tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Protes dan kerusuhan terjadi di berbagai negara di dunia akibat peningkatan berbagai kebutuhan bahan makanan, seperti, beras, gandum dan jagung. Ban mencatat bahwa gelombang peningkatan harga pangan antara lain disebabkan oleh kenaikan harga minyak, kekurangan investasi di bidang pertanian, peningkatan permintaan, serta cuaca buruk, yang kerap terjadi di berbagai belahan dunia. "Saya yakin bahwa kita bisa menghadapi krisis pangan global ini. Kita punya sumber dayanya. Kita punya pengetahuan. Kita tahu yang harus dilakukan. Oleh karena itu, kita perlu memikirkan hal ini tidak hanya sebagai masalah, tapi juga sebagai peluang," kata Ban.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008