Jakarta (ANTARA News) - "Pada awalnya memang ada resistensi terhadap proses merger Arcelor dan Mittal. Namun itu karena kurangnya pengetahuan terhadap Mittal," kata Direktur Jenderal pada Kementerian Ekonomi dan Perdagangan Internasional Luxemburg Georges Schmit. Georges Schmit, saat berkisah reaksi pertama pemerintahnya terhadap Mittal Steel yang ingin mengambil saham Arcelor pada awal 2006, tidak lain bercerita tentang sikap Eropa terhadap perusahaan asal India tersebut. Bagi mereka, perusahaan baja yang dipimpin seorang India itu terasa asing dan tampak tidak "barat", makanya aneh ketika perusahaan itu berniat mengakuisisi perusahaan baja terkemuka di Eropa, Arcelor. Arcelor, sebelumnya, merupakan bentukan baru pada awal 2000-an dari merger Arbed (Luxemburg), Usinor (Prancis) dan Acerelia (Spanyol). Oleh karena itu reaksi penentangan atas niat perusahaan baja itu juga datang dari pemerintah Eropa, karena mereka memiliki saham walau minoritas. Schmit saat ditemui di Luxemburg, akhir Mei, mengakui dua kali merger itu membuat saham pemerintahnya terdilusi. Dari semula 40 persen di Arbed, mengecil menjadi 20 persen saat bergabung di Arcelor. Pada perkembangannya saham pemerintahnya terdilusi menjadi delapan persen, dan saat merger menjadi Arcelor Mittal kepemilikannya tinggal 2,7 persen. "Meski terdilusi secara persentase, nilai nominalnya meningkat," katanya. Saat kepemilikan saham 20 persen, nilainya 500 juta euro, saat delapan persen nilainya 675 juta euro, dan saat 2,7 persen nilainya menjadi 2,5 miliar euro. Tidak hanya negara kecil Luxemburg yang berubah penilaiannya, Prancis yang memiliki harga diri tinggi di Eropa harus mengakui Lakshmi N. Mittal, yang menjadi pemilik utama Arcelor Mittal (43,6 persen), sebagai produsen baja paling terkemuka di dunia. "Setahun lalu anda tidak disambut di Prancis. Namun itu telah berubah," kata Presiden Prancis Nicolas Sarkozy kepada Lakshmi Mittal pada acara di Museum Guimet Paris, Oktober 2007, dikutip dari "Cold Steel, Great Britain, 2008". Sang pemilik Lakhsmi Mittal, dari awal sejak di Mittal Steel hingga bermerger menjadi Arcelor Mittal, terkenal bergairah dalam mengakuisisi perusahaan-perusahaan baja di negara maju maupun berkembang. Alasannya, memperkuat bisnis baja grup Mittal, baik dari pasokan, pasar, maupun produksinya di sektor hulu hingga hilir. Gairah itu dibuktikannya, kini pabrik Arcelor Mittal hadir di 20 negara di seluruh dunia dan aktivitas akuisisi dan merger itu mampu terus meningkatkan pendapatannya. Pertumbuhan EBITDA (keuntungan sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi) pada 2007 sebesar 27 persen menjadi 19,4 miliar dolar AS dan laba bersih naik 30 persen menjadi 10,4 miliar dolar AS. Adapun jatah untuk pemegang saham ikut naik; pada 2006 dividen sebesar 1,30 dolar AS per saham menjadi 1,50 dolar AS per saham pada 2007. Jaringan Pasar Merger Arcelor dan Mittal pada 2006 terkenal sebagai puncak konsolidasi perusahaan baja dunia. Gabungan dua perusahaan itu membuat lini produksinya sebagai terbesar di dunia dengan produksi 116 juta ton per tahun atau sekitar 10 persen produksi baja global, jauh mengungguli Nippon Steel, Posco, Tata Steel, Shagang, dan US Steel. Bendera baru itu pun pada 2007 tak menghentikan gairah mengakuisisi perusahaan baja di belahan dunia lainnya. Tidak kurang dari 35 transaksi strategis, baik dalam bentuk akuisisi maupun investasi tercapai pada 2007, dengan total nilai sekitar 12,3 miliar dolar AS. Perusahaan baja yang diakuisisi itu termasuk transaksi kepemilikan saham minoritas di perusahaan baja di Argentina, Brasil, China, Kosta Rika, Mesir, Meksiko dan Polandia. "Kami menyadari sebagai perusahaan besar di industri baja, kami melakukan akuisisi bukan untuk menghancurkan yang sudah ada," kata anggota Dewan Manajemen Grup Arcelor Mittal di Luxemburg Gonzalo Urquijo. Gonzalo Urquijo mengatakan, di sana mereka mengembangkan aset dan produksi, menciptakan lapangan kerja, karena negara tempat mereka mengembangkan baja itu memang memiliki prospek bagus. "Juga sudah terbukti kami bisa meningkatkan dividen bagi pemegang saham," katanya. Menurut dia, Arcelor Mittal dalam berkompetisi global tetap menekankan pada tanggung jawab global dan komitmen menetapkan standard global terhadap tiga nilai utama perusahaan, yaitu kesinambungan, kualitas dan kepemimpinan. Transparansi juga tetap ditegakkan, karena hal itu tak terlepas dari status perusahaannya yang sudah tercatat di bursa efek Wall Street New York (NYSE) dan bursa Eropa (Belanda, Prancis, Spanyol, Luxemburg dan Belgia). Selain itu, katanya, bila Arcelor Mittal mengakuisisi perusahaan baja, mereka harus mencapai standar global, dan mau tak mau harus mendidik tenaga kerjanya yang kurang trampil melalui akses pendidikan di Universitas Mittal. Sedangkan agar pengembangan produknya selalu sesuai kebutuhan pasar, perusahaan itu memiliki wadah penelitian dan pengembangan yang tersebar di 14 pusat penelitian utama di Eropa, AS, Kanada dan Brasil. "Tahun ini alokasi dana 300 juta dolar AS untuk penelitian dan pengembangan. Tujuannya agar terus tercipta kualitas unggul baja dari sektor hulu hingga hilir," katanya. Dengan keberadaan Arcelor Mittal di 20 negara, terbentuk jaringan pasar internasional, yang bisa saling dimanfaatkan bagi para anak perusahaannya, selain saling menimba pengalaman pasar, pasokan, penciptaan produk, dan jasa di industri baja. Kepentingan nasional Arcelor Mittal, di samping Bluescope dan Tata Steel, hingga kini masih menunggu jawaban dari Pemerintah Indonesia atas proposal kemitraan strategisnya dengan BUMN produsen baja Indonesia PT Krakatau Steel, yang telah dipresentasikan pada 8 Mei. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) M Lutfi mengatakan, Krakatau Steel memerlukan pemain baja kelas dunia sebagai mitra strategis agar kinerjanya berkembang lebih cepat baik dalam produksi maupun pasarnya. Di samping itu, dengan penjualan strategis dalam privatisasi Krakatau Steel, BUMN baja itu tidak dipermainkan perusahaan penyedia bahan baku bijih besi. "Kepentingan utama kami dan Depperin sama, yaitu menggandakan produksi baja Krakatau Steel, agar setidaknya bisa memenuhi kebutuhan domestik," katanya. Lutfi menyesalkan manajemen Krakatau Steel yang sebelumnya sudah berjanji kepada Wapres Jusuf Kalla untuk meningkatkan produksi dua kali lipat, namun ternyata sudah dua tahun ini belum ada realisasinya. Pada sisi lain dorongan privatisasi bentuk penjualan strategis malahan mendapat gelombang demonstrasi penentangan dari serikat pekerja Krakatau Steel yang didukung sebagian personil di Dewan Komisarisnya. Menurut Menperin Fahmi Idris, demonstrasi adalah wajar. Namun tujuan utama privatisasi adalah tidak sekadar mendapat dana, tetapi juga kemampuan menggandakan produksi baja di dalam negeri, yang saat ini kebutuhannya sekitar 6 juta ton per tahun. Sedangkan Krakatau Steel hanya berproduksi 2,5 juta ton dan perusahaan baja lainnya hanya sekitar 1,5 juta ton. "Jadi masih kurang 2 juta ton dan itu terpaksa harus diimpor. Padahal eksplorasi bahan baku baja seperti bijih besi masih luas dieksplorasi," kata Fahmi Idris. Akibat kekurangan baja itu, pasokan baja untuk industri otomotif di dalam negeri ikut tersendat. Akibatnya, industri otomotif, seperti perusahaan Jepang di Indonesia, sering meminta pemerintah menghapuskan bea masuk baja khusus dalam kerangka kemitraan ekonomi Indonesia-Jepang (IJEPA). Sedangkan mengenai kekhawatiran bahwa pihak asing di PT Krakatau Steel akan mengurangi tenaga kerja dan dominasi kendali dari Indonesia, sejumlah pihak menyebut bahwa solusinya bergantung pada pemerintah Indonesia. Selama Pemerintah bisa membuat sale and purchase agreement (SPA) yang benar dan ketat, seperti tentang PHK dan pembelian mayoritas saham, kekhawatiran itu tidak akan terjadi. Pemerintah Indonesia harus tegas menyatakan dalam dalam SPA bahwa pihaknya tetap sebagai pemegang saham mayoritas di Krakatau Steel, yang tak bisa ditawar walau untuk kemungkinan jangka panjang. "Setelah itu kita bisa melihat kinerjanya. Kalau dia (Arcelor Mittal) tidak berkinerja baik, manajemen kan masih kita pegang. Kita bisa menentukan langkah selanjutnya demi kepentingan nasional tetap terjaga," kata Menteri BUMN Sofyan Djalil. Disebutkan juga bahwa hal penting lain yang harus ada dalam SPA harus dibuat untuk menguntungkan kepentingan nasional, di antaranya mencakup besaran nilai investasi, akses pasar dan jaringan internasional, litbang, sumber daya manusia, pengembangan sektor hulu dan penciptaan sektor hilir baja unggul. SPA juga harus memuat dukungan pengembangan komunitas dan perlindungan lingkungan, serta perihal kemungkinan buy-back (pembelian kembali) saham. Dengan demikian kejadian yang menimpa BUMN telekomunikasi PT Indosat yang menyebabkan kepemilikan saham pemerintah Indonesia (14,54 persen) lebih kecil dari perusahaan asing, Singapore Technologies Telemedia, (40,98 persen), tidak terulang. (*)

Oleh Oleh Zaenal Abidin
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008