Medan (ANTARA News) - Keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada (24/5) diyakini tidak akan sampai berdampak terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK)secara besar-besaran. "Tidak akan ada PHK besar-besar seperti yang dikhawatirkan banyak pihak. Dampak serius akibat kenaikan harga BBM mungkin hanya berupa mandegnya investasi," ujar Ketua Komisi E DPRD Sumatera Utara, Rafriandi Nasution, di Medan, Senin. Berkaca pada dua kali kenaikan harga BBM seperti yang terjadi pada tahun 2005, politisi dari Partai Amanat Nasional itu meyakini pemerintah tidak akan tinggal diam dengan membiarkan sektor dunia usaha kolaps. "Setelah ini tentu ada kemudahan-kemudahan bagi sektor dunia usaha, yang membuat mereka tetap `survive` dan tidak harus mem-PHK karyawannya. Kita harus tetap optimis, meski kenaikan harga BBM memang memiliki dampak yang besar terhadap berbagai sektor kehidupan masyarakat," katanya. Hanya saja, menurut Rafriandi, pemerintah harus sesegera mungkin merealisasikan kemudahan-kemudahan itu, mulai dari kemudahan berupa kredit perbankan, kemudahan segala bentuk perizinan dan kemudahan dalam mengakses pasar. Selain itu pemerintah juga harus melanjutkan komitmennya untuk memberantas segala bentuk pungutan atau biaya-biaya yang memberatkan dunia usaha, agar mereka tetap bisa bertahan tanpa harus merasionalisasi buruh atau karyawannya. "Hal ini tidak hanya harus menjadi komitmen pemerintah di pusat, tetapi juga harus diikuti melalui tindakan nyata oleh pemerintah di daerah mulai dari provinsi dan kabupaten/kota," katanya. Menyangkut kemungkinan bakal bertambahnya beban dunia usaha menyusul segera akan disesuaikannya upah minimum provinsi (UMP) atau upah minimum kota (UMK), Rafriandi Nasution mengatakan hal itu juga tidak semestinya menjadi alasan bagi dunia usaha untuk mem-PHK buruh atau karyawannya. "Yang penting saat ini bagaimana dunia usaha bisa bertahan dalam kondisi sekarang ini tanpa harus mengorbankan buruh dan karyawan. Dunia usaha tetap harus mampu bertahan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok buruh dan karyawannya," ujarnya. Untuk kondisi dewasa ini ia menilai dunia usaha tidak lagi harus menerapkan prinsip ekonomi (untung sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya, red) secara membabi-buta dan harus tetap memperhatikan kondisi dan karyawannya. Hidup sederhana Pada bagian lain Rafriandi Nasution juga menilai perlunya keteladanan dari para pemimpinan dalam menerapkan pola hidup sederhana di tengah keprihatinan yang dihadapi bangsa dan negara. Pola hidup sederhana, menurut dia, harus diawali dari pemerintah mulai dari yang tertinggi sampai ke daerah-daerah, sebagai langkah nyata turut prihatin dengan kondisi sulit yang dialami sebagian besar rakyat. Ia mencontohkan, pola hidup sederhana bisa ditunjukkan para pejabat pemerintahan dengan tidak lagi memakai mobil dinas mewah. "Misalnya seorang gubernur memakai mobil dinas yang harganya tidak lebih dari Rp200 juta, maka para pejabat di bawahnya pasti tidak akan berani memakai mobil dinas yang lebih mahal dari mobil dinas gubernur itu," jelasnya. Pola-pola seperti itu, menurut dia, harus dapat diterapkan pada setiap bidang tugas dan fungsi pemerintahan, sehingga masyarakat juga dapat melihat kondisi prihatin ternyata tidak hanya diperuntukkan bagi mereka.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008