Jakarta (ANTARA) - Sorotan dunia terhadap kisruh Hong Kong boleh jadi bukan menjadi perhatian khusus bagi kita sepanjang dampaknya yang tidak terlalu berpengaruh langsung terhadap hubungan China dengan Indonesia.

Namun kita dapat memetik pelajaran yang berharga dari adanya krisis politik di Hong Kong saat ini yaitu bagaimana menyikapi sebuah tantangan dalam mengelola pemerintahan pada suatu negara yang menerapkan dua sistem yang berbeda.

Hal yang tidak mudah bagi sebuah negara layaknya China yang menganut sistem politik komunis namun di sisi lain menerapkan sistem ekonomi liberal, sementara China memberikan status wilayah otonomi khusus pada Hong Kong untuk menerapkan sistem demokrasi.

Tergambar adanya inkonsistensi kebijakan Beijing dalam mempertahankan "satu negara dua sistem (one country two systems)" selain ditandai dengan dualisme kebijakan Beijing yang berupaya membatasi sistem demokrasi di Hong Kong dengan pemberlakuan RUU Ekstradisi yang dapat dianggap sebagai sebuah intervensi transformasi sistemik dari sistem demokrasi menjadi sistem komunis.

Tidak dapat dihindari adanya konsekuensi dari sikap Beijing tersebut berakibat kepercayaan publik terhadap Beijing akan terkikis, yang menimbulkan kekecewaan rakyat Hong Kong atas "pengkhianatan" Beijing memicu tuntutan untuk memisahkan diri dari China.

Jika terjadi pemisahan Hong Kong dari China, tidak tertutup kemungkinan Hong Kong akan menjadi sebuah negara yang berdiri sendiri dan merdeka. Momentum aksi unjuk rasa dan kerusuhan yang terjadi, dijadikan celah oleh negara lain untuk menggiring upaya pemisahan Hong Kong dari China.

Selain itu, dengan adanya tragedi pemisahan Taiwan dari China dapat menjadi dasar yang kuat bagi Hong Kong untuk melakukan tindakan yang serupa, bahwa Hong Kong mampu untuk menjadi negara yang merdeka dan berdaulat.

Namun dapat diprediksi akan sulit bagi Hong Kong untuk memisahkan diri sepanjang pimpinan tertinggi pemerintahan Hong Kong dipegang oleh wakil Beijing. Apalagi Beijing tidak ingin mengulangi "kecolongan" setelah lepasnya Taiwan dari China Daratan.

Baca juga: Pemimpin Hong Kong Carrie Lam akui China tak pernah memintanya mundur

Beijing dipastikan akan menghadapi dilema ketika tuntutan massa mayoritas Hong Kong ingin berdiri sendiri, terlepas dari cengkraman intervensi pemerintah pusat yang berlebihan.

Jika Hong Kong memang melepaskan dari Beijing, maka Beijing akan mendapat citra buruk dari dunia Internasional. Kredibilitasnya sebagai negara "great power" akan dipertaruhkan karena dianggap tidak mampu menjaga keutuhan wilayahnya.

Jika Hong Kong tetap menjadi bagian dari wilayahnya dan diperlakukan layaknya sistem sosialis, sama halnya Beijing juga akan mendapat kecaman yang sama karena dianggap bertentangan dengan perjanjian kedaulatan Hong Kong tahun 1997.

Apapun bentuk konsekuensi yang muncul, China tetap berupaya mempertahankan Hong Kong berada di bawah kekuasaannya apalagi China tidak menginginkan terulangnya pengalaman lepasnya Taiwan pada pemerintahan Mao Zedong.

Walaupun pengaruhnya tidak dirasakan oleh Indonesia, namun secara tidak langsung memberikan ruang pemikiran bagi Indonesia untuk meninjau pola pemberlakuan otonomi khusus bagi suatu wilayah dalam bingkai kesatuan negara.

Perilaku politik massa di Hong Kong yang berseberangan dengan hasrat politik Beijing memicu sebuah pembenaran terhadap adanya imajinasi tentang martabat diri dari sekelompok masyarakat dari suatu wilayah yang memiliki jati diri yang berbeda dalam perjuangan ideologi politiknya.

Artinya, apabila hal ini dianalogikan dengan kondisi politik kewilayahan di Indonesia, maka cara Beijing dalam memperlakukan Hong Kong menjadi sebuah pembelajaran yang berharga bagi upaya Indonesia dalam menjaga keutuhan NKRI.

Baca juga: Presiden terima Kepala Eksekutif Hong Kong

Faktor pengaruh lingkungan eksternal tidak terlepas dari kondisi domestik Beijing dan Hong Kong yang terus berkembang.

Dukungan kekuatan asing dipastikan akan semakin meningkat untuk menciptakan sebuah pembenaran terhadap demokrasi Hong Kong sebagai "harga mati" yang diperjuangkan agar tidak terpengaruh oleh tekanan Beijing.

Sekali terdapat celah kelemahan demokrasi, desakan pengaruh eksternal akan semakin kuat hingga mungkin mendorong disintegrasi Hong Kong sebagai suatu wilayah yang bakal terlepas dari wilayah induknya.

Dialog aspiratif penyatuan ideologi kebangsaan tidak mungkin akan terjadi antara massa akar rumput Hong Kong dengan elit politik Hong Kong dan Beijing sepanjang masih terdapat diskrepansi pandangan ideologis.

Beijing akan sangat menyesalkan jika Hong Kong yang menjadi "tulang punggung" ekonomi yang selama ini ditempatkan di garda terdepan untuk menghadapi rezim liberalis internasional, akan melemah hanya karena semata hasrat kuatnya yang bertentangan dengan hasrat Beijing.

Baca juga: Polisi Hong Kong tembakkan gas air mata untuk bubarkan massa

Indonesia dapat memetik pengalaman Beijing dan Hong Kong tersebut untuk selalu mawas diri terhadap kemungkinan adanya ancaman yang bersifat tertutup dan terselubung.

Apabila Hong Kong berkeinginan untuk lepas dari Beijing, maka China akan kehilangan "taringnya" di mata internasional sebagai negara hegemon terbesar di kawasan selain Amerika Serikat. Pengekangan pemikiran massa Hong Kong oleh perilaku kebijakan Beijing yang cenderung asertif dan otoriter, serta dianggap menyimpang dari kesepakatan, justeru menimbulkan kontraproduktif bagi supremasi politik hukum Beijing di mata masyarakat internasional.

Yang dapat ditarik maknanya dari kejadian Hong Kong ini bagi Indonesia adalah perlunya kehati-hatian dalam menerapkan distribusi kekuasaan politik dalam kerangka otonomi daerah agar kepentingan masyarakat daerah atau wilayah dapat terpenuhi dengan terus bersinergi dengan pusat.

* Berlian Helmy adalah Direktur Ideologi dan Politik, Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI)

Copyright © ANTARA 2019