Baghdad, (ANTARA News) - Kalangan rakyat Irak makin khawatir kepentingan dan kedaulatan mereka akan menjadi korban kesepakatan perundingan antara pemerintah mereka dengan AS. Perundingan mengenai pembinaan hubungan masa depan Irak-AS sedang menuju batas akhir yaitu pada penghujung Juli dan belum ada pengumuman tentang rincian kesepakatan. Presiden AS George W. Bush dan Perdana Menteri Irak Nuri Al-Maliki pada November menandatangni prinsip-prinsip yang bertujuan mencapai satu kesepakatan untuk mengganti mandat PBB mengenai operasi AS di Irak. Di antara masalah yang membuat khawatir rakyat Irak ialah berapa lama tentara AS akan berada di Irak dan apa status masa depan mereka nantinya. "Kami menyeru semua pejabat Irak yang ikut dalam perundingan dengan pihak Amerika untuk melindungi persatuan Irak, kedaulatan dan kekayaannya," kata Adnan Ad-Dulaimi, pemimpin Front Persetujuan Irak, blok utama Sunni di parlemen Irak, kepada kantor berita China, Xinhua, Kamis (5/6). Ad-Dulaimi mengatakan persetujuan itu "takkan siap pada Juli sebagaimana dijadwalkan" karena ada banyak masalah yang harus dibahas dalam kesepakatan tersebut. Harian Inggris, Independent, Kamis, melaporkan bahwa AS bermaksud mempertahankan lebih dari 50 pangkalan militer, mempertahankan hak untuk melakukan penangkapan dan melancarkan operasi militer tanpa konsultasi dengan pemerintah Irak. Washington juga ingin kontraktor dan tentara AS memperoleh kekebalan hukum, kata surat kabar tersebut. Ahad 1 Juni, jurubicara pemerintah Irak Ali Ad-Dabbagh mengatakan kedua pihak memiliki pandangan yang berbeda mengenai persetujuan itu, dan perundingan masih berada pada tahap awal. Ia berkeras bahwa pemerintah Irak "menegaskan pelestarian kedaulatan udara dan maritim, serta wilayah Irak bersama dengan urusan dalam dan luar negerinya". Awal pekan kedua Juni, Abdul Aziz Al-Hakim, tokoh kuat aliran Syiah yang memimpin Dewan Tertinggi Islam Irak, bertemu dengan tokoh lain aliran Syiah, Ayatollah Ali As-Sistani, yang diagungkan banyak kalangan. Al-Hakim mengatakan kepada wartawan setelah pertemuan tersebut bahwa As-Sistani mengajukan empat syarat sebagai tiang bagi tercapainya kesepakatan: pemeliharaan kedaulatan Irak, transparansi, persetujuan rakyat Irak dan perlunya untuk menyampaikan perincian persetujuan ke parlemen. Tokoh aliran Syiah anti-AS Moqtada As-Sadr telah menyampaikan penentangan kuatnya, dan menyeru pengikutnya di Irak untuk melancarkan demonstrasi mingguan guna menentang dokumen yang direncanakan tersebut. Kehadiran militer AS di Irak juga membuat prihatin Iran, yang khawatir negara tetangganya itu akan dijadikan landasan guna melancarkan serangan yang mungkin dilakukan oleh Washington. AS menuduh Iran mengembangkan senjata nuklir dan mendukung milisi Syiah di Irak. Teheran membantah tuduhan itu dan pada saat yang sama menyatakan bahwa penempatan tentara AS di Irak membawa ketidak-stabilan bagi negeri tersebut serta wilayah itu. Pemerintah pimpinan Syiah di Irak, yang memangku jabatan dengan bantuan AS dan memiliki hubungan besar dengan Iran, tak ingin kedua pihak mengubah Irak jadi ajang bagi penyelesaian sengketa mereka. Hassan As-Seneid, anggota parlemen dari Aliansi Irak Bersatu --yang berfaham Syiah, mengatakan, Kamis (5/6), Perdana Menteri Nuri Al-Maliki berencana mengunjungi Iran, Jordania dan Turki untuk menjelaskan bahwa Irak takkan digunakan sebagai landasan guna melancarkan serangan terhadap tetangga-tetangganya.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008