Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia menjelaskan bahwa pemberlakuan hukuman mati di Indonesia merupakan bagian dari tata hukum negara, yang berada di bawah kedaulatan setiap negara. Menurut keterangan Perutusan Tetap Indonesia pada PBB dan Organisasi Internasional Lain di Jenewa, yang diterima ANTARA News di Jakarta, Selasa, hal itu disampaikan perutusan Indonesia dalam sidang paripurna pensahan laporan akhir Tinjauan Umum Berkala (UPR) Indonesia dalam sidang ke-8 Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada di Jenewa, Swiss, kemarin (9/6). "Dalam kaitan itu, hukuman mati merupakan bagian dari KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), yang telah disepakati secara demokratis melalui proses parlemen," katanya. Pemerintah Indonesia berpandangan bahwa hukuman mati harus diterapkan secara selektif dan terbatas pada tindak pidana sangat serius. Terkait dengan UPR, perutusan Indonesia telah menegaskan bahwa mekanisme UPR merupakan proses antarpemerintah melalui Dewan Hak Asasi Manusia guna meningkatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi di seluruh negara atas dasar kesetaraan dan keadilan, sehingga penting bagi setiap pemerintah untuk menindaklanjuti masukan dan saran, yang tertuang dalam hasil akhir laporan UPR. "Delegasi Indonesia menggarisbawahi bahwa sebagian besar dari masukan dan rekomendasi, yang tertuang dalam laporan UPR sejalan dengan kebijakan dan upaya pemerintah Indonesia dalam meningkatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi di Tanah Air, yakni melalui pelatihan dan pendidikan hak asasi manusia, harmonisasi undang-undang nasional dengan norma dan standar hak asasi manusia internasional serta kerjasama regional dan internasional dalam rangka peningkatan kapasitas," katanya. Mengenai saran mensahkan sejumlah perangkat hak asasi manusia antarbangsa, perutusan Indonesia menyampaikan bahwa pemerintah Indoesia bersama dengan 436 komisi pelaksana rencana kegiatan hak asasi daerah bekerjasama dengan masyarakat madani dan pemangku kepentingan lain, melakukan kajian terkait dengan kesiapan kapasitas di dalam negeri guna menjamin dampak positif di lapangan sebelum mensahkan berbagai perangkat hak asasi manusia internasional. Sehubungan dengan kerjasama dengan aturan khusus hak asasi manusia PBB, pemerintah Indonesia menganggap penting kerjasama melalui kunjungan kerja prosedur khusus ke Indonesia, sehingga pemerintah senantiasa mempertimbangkan dan memutuskan kunjungan prosedur khusus hak asasi PBB sesuai dengan prioritas dan kepentingan pemerintah dalam upaya pemajuan dan perlindungan hak asasi di Indonesia. Dalam menanggapi saran lain, seperti, pemberantasan perdagangan manusia dan peningkatan hak asasi wanita, pemerintah menjelaskan bahwa itu telah terangkum dalam UU No 21 tahun 2007 dan UU No 2 tahun 2008. Pemerintah, yang untuk kedua kali menjadi anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB, juga menegaskan untuk terus bersikap positif dan optimis terhadap mekanisme UPR dengan senantiasa merujuk pada prinsip dasar, yang disepakati dewan itu melalui Resolusi 5/1, yakni penekanan pada prinsip dialog dan kerjasama.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008