Oleh Gusti Nur Cahya Aryani Jakarta (ANTARA News) - "Dulu pernah lah coba-coba sewaktu muda, tapi karena tidak suka dan sadar kalau rokok tidak baik untuk kesehatan maka saya berhenti," ujar Imam Prasodjo. Beruntung bagi Direktur Yayasan Nurani Dunia itu yang kebetulan tidak menyukai rokok dan sadar akan bahaya rokok sehingga kegiatan "coba-coba" yang dilakukannya di masa muda tidak berlanjut menjadi kebiasaan buruk di kemudian hari. Namun, bagaimana dengan jutaan anak-anak muda lainnya yang akhirnya tidak bisa melepaskan diri dari proses panjang "bunuh diri" yang diawali melalui kegiatan coba-coba itu? Apalagi, mengingat data Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan mencatat bahwa pada 1990-an usia awal merokok pada anak-anak dimulai saat usia menginjak 15 tahun namun pada 2004 diperkirakan usia awal merokok pada anak-anak dimulai pada saat 7 tahun. "Pelarangan total terhadap segala bentuk iklan rokok terbukti berhasil menurunkan angka konsumsi tembakau, setidaknya hal itu terlihat di negara-negara yang sudah menerapkan aturan hukum pelarangan iklan rokok," kata Direktur WHO untuk Inisiatif Tanpa Tembakau Douglas Bettcher. Iklan, promosi dan sponsor rokok memang dinilai berperan penting dalam menciptakan budaya merokok pada remaja. Berdasarkan penelitian dampak keterpajangan iklan dan sponsor rokok terhadap kognitif, afeksi dan perilaku merokok remaja yang dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) pada 2007 tercatat 46,3 persen menunjukkan pengaruh besar untuk memulai merokok. Semakin sering remaja dan anak-anak terpajan iklan rokok yang bernilai miliaran rupiah per tahunnya dan berorientasi mengajak generasi muda merokok, maka peluang mereka untuk mulai merokok pun meningkat. Oleh karena itu, upaya imbauan dan pembatasan iklan rokok yang baru hanya menjangkau 5 persen populasi dunia hampir dipastikan tidak dapat bersaing dengan usaha gencar perusahaan-perusahaan tembakau untuk terus saja mempromosikan rokok sebagai komoditi yang identik dengan glamor, energi, dan ketertarikan seksual. Kesan yang menyesatkan ini menghubungkan rokok dengan hal-hal mewah, menarik bagi lawan jenis, dan sensasi petualangan sehingga kalimat peringatan "merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin" menjadi sekedar retorika belaka. Mungkin masih lekat di benak publik ketika sepasang anak muda "gaul" yang bercita-cita menjadi musisi kondang dalam film bergenre remaja --artinya dapat ditonton oleh anak-anak berseragam putih biru-- Realita, Cinta dan Rock`n Roll memasang dua bintang remaja --Vono G Bastian dan Herjunot Ali-- yang entah mengapa tidak henti-hentinya merokok sepanjang film. Industri tembakau pun menghabiskan miliaran rupiah tiap tahunnya untuk memperluas jaringan pemasaran untuk bisa terus bertahan dengan berusaha menarik anak muda, di lingkungan yang hangat dan mengasyikkan seperti bioskop, internet, majalah, acara olahraga, dan konser musik. Hampir mustahil mengharapkan mereka mau memasang foto seram akibat rokok di kotak rokoknya atau menayangkan iklan antrian penderita kanker paru-paru untuk khemoterapi di rumah sakit. Dari coba-coba "Sejak SD, dulu sering disuruh membeli rokok oleh ayah lalu ikut mencoba," kata Ruddy (35) seorang pegawai asuransi yang tinggal di kawasan Ciledug mengenai perkenalan pertamanya dengan rokok. Ketika ditemui sedang berolahraga bersama keluarganya di Lapangan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Minggu (8/6) pagi, Ruddy sedang merokok sambil menggendong salah seorang anaknya yang baru berusia 4 tahun. Bapak dari tiga anak itu menikmati rokoknya, sementara itu bocah kecil dalam pelukannya tertawa-tawa memperhatikan bulatan-bulatan asap yang keluar dari bibir sang ayah. "Ditawari oleh teman sewaktu SMP," kata Aditya (19) yang mengaku mahasiswa teknologi informasi di tempat yang sama. Tampil bercelana kargo hijau lumut, kaos tanpa lengan warna putih, sepatu olah raga keluaran salah satu produsen ternama, sebuah pemutar musik digital yang melekat di telinganya, dan tidak ketinggalan sebungkus rokok di salah satu kantong celananya, sosok Aditya tidak jauh beda dengan remaja-remaja "gaul" seusianya. Tampak sehat dan bugar di Minggu pagi itu setelah mengaku keliling Monas dua kali. Berbeda dengan sejumlah racun lainnya, puluhan jenis racun yang terkandung dalam satu batang rokok memang tidak bekerja secara langsung, antara lain gas karbon monoksida, nitrogen, hidrosianiada dan ammonia begitu juga dengan 43 jenis zat penyebab kanker yang dapat terhirup perokok pasif dan tentu saja aktif. Sifat puluhan racun yang bekerja perlahan-lahan itu juga yang membuat sebagian besar --jika tidak dapat dikatakan seluruh-- perokok tidak mempedulikan bahaya rokok sekalipun mengetahuinya. "Tahu (bahaya rokok) tapi gimana lagi, susah untuk berhenti," kata Ruddy sambil tertawa saat ditanya apakah dia mengetahui bahaya rokok. Memang diperlukan lebih dari sekedar pengetahuan akan bahaya rokok untuk membuat seseorang berhenti merokok. Oleh karena itu Ibu Negara Ani Yudhoyono dalam peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia di Istana Negara akhir Mei lalu mengimbau seluruh pihak untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan bebas asap rokok bagi anak-anak apalagi anak-anak ada kecenderungan untuk meniru perilaku orang tuanya. "Anak-anak juga harus berani menolak rokok, biarlah dikatakan jadul (kuno) tidak perlu takut," kata Ani Yudhoyono seraya menambahkan bahwa ia dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga tidak merokok. Ibu Negara juga mengingatkan para orang tua bahwa merokok selain merugikan kesehatan juga merugikan keuangan keluarga, apalagi untuk keluarga miskin. "Alangkah baiknya jika uang untuk rokok digunakan untuk makanan bergizi," katanya. Harga satu bungkus rokok setara dengan harga satu kilogram telor ayam. Pada kesempatan itu, Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Prof Dr Farid Anfasa Moeloek mengatakan 11 persen belanja masyarakat miskin adalah untuk rokok, jauh lebih besar dari konsumsi rokok keluarga kaya (9 persen), sehingga rokok merugikan kesejahteraan keluarga. "Rasanya tidak tega kalau menyuruh suami saya berhenti merokok, dia sudah bekerja keras satu hari penuh," kata Sundari (37), seorang ibu rumah tangga yang mengaku terpaksa mengurangi jatah susu formula untuk anak bungsunya seiring kenaikan harga bahan pangan akibat kenaikan harga BBM, namun tidak tega untuk meminta suaminya yang bekerja sebagai teknisi di sebuah pabrik berhenti merokok. Dari reklame "Papan iklan di tepi jalan dan satpam sekolah" ujar Amalia (8) saat ditanya dari mana mengetahui rokok untuk pertama kali dan orang pertama yang diliatnya merokok. Kebetulan di keluarganya tidak ada satu orangpun menjadi perokok. "Lihat dijual di toko dan papa merokok," kata Yudha (7) saat ditanya pertanyaan yang sama. Mungkin akan ada lebih beragam jawaban jika satu persatu anak-anak di seluruh Indonesia ditanya mengenai perkenalan pertama mereka dengan sebatang racun bernama rokok. Namun, satu hal yang terkesan ironis adalah sebagian besar anak-anak itu mengenal rokok untuk pertama kalinya di rumah, entah melalui ayah, ibu, paman, kakak atau kakek. Menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono, sekitar lebih dari 43 persen anak-anak Indonesia hidup serumah dengan perokok atau menjadi perokok pasif. Dalam survei WHO yang dilakukan di 100 negara secara serentak pada 2004-2006 termasuk Indonesia, terungkap bahwa 12,6 persen pelajar setingkat SMP adalah perokok dan sebanyak 30,9 persen pelajar perokok tersebut mulai merokok sebelum usia 10 tahun dan 3,2 persen dari mereka sudah kecanduan. Hasil lain dari survei itu adalah 64,2 persen pelajar SMP menyatakan terpapar asap rokok orang lain --perokok pasif-- di rumah sendiri dan 81 persen pelajar SMP terpapar dari tempat-tempat umum. Menurut Iman, ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) --suatu hukum internasional dalam pengendalian tembakau-- adalah faktor kunci perlindungan anak-anak dari bahaya tembakau. "Dalam FCTC itu nanti akan ada aturan-aturan turunan yang salah satunya mengatur iklan rokok," ujarnya. WHO mengklaim bahwa pelarangan segala bentuk iklan, promosi, dan sponsor rokok terbukti bisa menurunkan tingkat konsumsi rokok hingga 16 persen. "Orang itu secara alami tidak suka merokok jadi pengaruh iklan itu sangat besar bagi anak-anak, itulah sebabnya perlu hukum yang jelas," katanya. Sekalipun sejumlah pemerintah daerah dalam beberapa tahun terakhir juga telah membuat sejumlah perda yang mengatur tempat untuk merokok, namun pemerintah Indonesia yang tergabung dalam salah satu penyusun FCTC --yang telah disepakati secara aklamasi dalam sidang WHO 2003-- menjadi satu-satunya negara di Asia Pasifik yang tidak menandatangani dan belum melakukan aksesi FCTC. Sehingga terkesan ironis ketika pemerintah sibuk mengimbau anak-anak muda untuk tidak merokok melalui tema Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2008, "Anak Muda Tanpa Rokok/Tobacco Free Youth" namun tidak mencoba menyediakan lingkungan yang kondusif bagi anak-anak yang kadang masih terlalu hijau untuk memilih. Anak-anak yang sebagian besar bahkan belum cukup umur dan hidup di lingkungan yang sangat akrab dengan rokok diharusnya mempunyai kesadaran penuh bahwa rokok tidak sehat sehingga harus dijauhi. Selama ini, disadari atau tidak pemerintah memang terkesan enggan melepas keuntungan-keuntungan yang dihasilkan dari industri rokok, mulai dari penyerapan tenaga kerja hingga pajak. Jika selama ini pajak yang telah disumbangkan oleh perusahaan rokok di Indonesia memang benar digunakan untuk membiayai pembangunan --salah satunya mungkin pembangunan rumah sakit kanker dan jantung-- maka jangan-jangan rakyat Indonesia harus berterima kasih pada jutaan perokok di Indonesia yang sudah rela mengorbankan kesehatannya demi kelangsungan industri rokok dan pajak dari mereka. Jangan-jangan pula para perokok tersebut layak mendapat julukan pahlawan pembangunan karena rela mengorbankan kesejahteraan keluarganya untuk tetap menghisap rokok yang jelas-jelas sudah mereka ketahui akibat buruknya. Tapi, satu yang jelas diuntungkan tentu saja para taipan rokok yang menduduki deretan 10 orang terkaya di Indonesia. Simalakama industri rokok itu terpotret jelas dalam film satir unggulan Golden Globe Award 2006 karya Jason Reitman yang berjudul Thank You for Smoking. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008