Oleh Azhari Banda Aceh (ANTARA News) - Setahun sudah moratorium (jeda sementara) penebangan hutan diberlakukan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Namun, belantara hutan Aceh hingga kini masih bising oleh raungan chainsaw (gergaji mesin) yang terus berderu. Deru gergaji itu telah terdengar hingga berkilo-kilometer, bahkan melibas kicauan burung yang pada era 1980-an menjadi orkestra paling jamak ditemui di seantero kawasan Geupang (Pidie) - Tutut (Aceh Barat). Deru gergaji para pembalak liar itu juga memaksa gajah dan harimau berimigrasi ke pemukiman penduduk. Akibatnya, warga terancam menjadi korban keganasan satwa liar itu. Warga di sejumlah desa sekitar hutan di Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Utara dan Aceh Tenggara juga mendapat warisan bencana dari para pembalak kayu liar berupa banjir dan tanah longsor. Aktivis lingkungan di Aceh, Bakti Siahaan, mengatakan bahwa aksi perambahan hutan hingga kini masih berlanjut, meski pemerintah daerah telah mengeluarkan kebijakan moratorium penebangan kayu. "Kami melihat perambahan hutan dengan berbagai dalih masih terjadi di Aceh," katanya. Koordinator Tim Penyusunan Rencana Strategis Pengelolaan Hutan Aceh (Tipereska) itu menyatakan, meskipun kondisi hutan Aceh tetap lebih baik dibandingkan provinsi lain di Pulau Sumatera, perambahan tidak dapat dibiarkan. "Jangan sampai hutan Aceh rusak parah, seperti terjadi di belahan lain pulau Sumatera" katanya. Selain masih berlanjutnya perambahan, pembukaan jalan baru juga menjadi salah satu masalah terusiknya ekosistem hutan di beberapa daerah di Aceh. "Masalah lain yang dapat mengganggu kebijakan moratorium logging itu adalah benturan peraturan terkait dengan Undang-Undang (UU) sektoral Pemerintah pusat dengan UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA)," ujarnya. Provinsi NAD memiliki sekitar 1,848 juta hektare (ha) kawasan hutan lindung, serta hutan suaka dan pelestarian alam seluas 899.451,72 ha. Bakti Siahaan menjelaskan, berdasarkan laporan sebuah lembaga lingkungan (Greenomics), tingkat deforestasi dan degradasi hutan Aceh sepanjang 2006 telah mencapai sekitar 200 ribu ha. "Laporan itu menyebutkan bahwa sekitar 60 persen deforestasi dan degradasi terjadi di kawasan hutan konservasi dan lindung, termasuk Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)," ujar dia. Untuk itu, ia mendukung sepenuhnya kebijakan moratorium logging yang dicanangkan Gubernur NAD, Irwandi Yusuf, pada 6 Juni 2007. "Moratorium itu lahir karena tingginya tingkat kerusakan hutan Aceh dan Pemerintah berusaha mengembalikan fungsi dan menata kembali hutannya. Saya melihat moratorium logging itu sebuah kebijakan pintar dari gubernur," katanya. Bakti menambahkan, pembalakkan liar itu selalu hanya menguntungkan para cukong sebagai penampung, sementara masyarakat yang merambah hutan tetap hidup dalam kemiskinan. Sementara itu, aktivis lingkungan dari Dana Suaka Margasatwa (World Wild Fund for Nature/WWF) Indonesia, Dede Suhendra, mengharapkan pemerintah lebih intensif menyosialisasikan moratorium logging, agar masyarakat lebih memahami batasan yang ditentukan. "Hingga saat ini masyarakat kebingungan tentang moratorium logging terutama mengenai wilayah mana yang bisa dan tidak boleh ditebang," katanya. "Bahkan, pernah sebuah lembaga donor asing menanyakan dimana bisa kami peroleh kayu legal sebanyak 30 meter kubi atau mungkin bisa ditunjukkan pedagang mana yang menjual kayu berizin," katanya. Lembaga itu berupaya menghindari jangan sampai melegalkan kebijakan yang dilarang pemerintah, karena moratorium logging itu tertuang dalam instruksi Gubernur NAD Nomor 5 tahun 2007. Jeda tebang hutan diikuti dengan dibentuknya Tim penyusunan rencana strategis pengelolaan hutan Aceh (Tipereska). "Kita mendukung dan memberikan apresiasi yang cukup tinggi terhadap kebijakan Pemerintah Aceh sebagai salah satu upaya menjaga agar hutan tetap terlindungi," katanya. Dede Suhendra menjelaskan, masyarakat terutama mereka yang bertempat tinggal dipinggiran hutan belum mengetahui tentang pemanfaatan jenis kayu dan lokasi pohon yang bisa ditebang. Dalam petunjuk moratorium itu disebutkan masyarakat dilarang merambah kayu di dalam hutan. Kebijakan moratorium itu juga diikuti pembekuan sejumlah Hak Pengusahaan Hutan (HPH). "Masyarakat boleh menebang kayu hanya dari kebunnya," ujarnya. Irwandi Yusuf menyatakan, moratorium logging itu paling tidak telah berhasil mendorong penyelamatan hutan. Penyelamatan hutan Aceh sangat penting bagi kelangsungan lingkungan hidup bagi anak cucu di masa mendatang. Akan tetapi, moratorium logging itu belum bisa menghentikan secara total aksi perambahan hutan Aceh. Paling tidak, jelasnya, para cukong kayu mulai gerah dan panik berteriak dengan menyebarkan isu seperti harga kayu melonjak, rakyat sulit mendapatkan kayu untuk membangun rumah, bahkan peti mati akibat kebijakan moratorium logging itu. Kebijakan itu, menurut Irwandi, untuk menata kembali fungsi hutan yang seharusnya menjadi faktor keseimbangan alam dan iklim. "Fungsi keseimbangan alam menjadi lemah akibat perambahan hutan sehingga berakibat bencana banjir dan tanah longsor setiap tahun di Aceh. Satwa kini turun dan mengancam keselamatan manusia akibat perambahan," katanya. Hutan di Provinsi NAD telah dijadikan sebagai program carbon market atau perdagangan karbon guna meminimalisir pengaruh pemanasan global. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menghendaki, negara yang memberikan kontribusi besar dalam pencemaran lingkungan yang menyebabkan pemanasan global mengurangi emisinya. "Pemanasan global harus diselesaikan secara total, artinya bukan hanya melaksanakan proyek tanam pohon tapi negara pencemar harus mengurangi emisinya," kata Direktur Walhi Aceh, Bambang Antariksa. Walhi mengingatkan semua pihak yang ikut dalam konferensi tingkat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai perubahan iklim (UNFCCC) di Bali 2007 jangan hanya memproyekkan penanaman pohon tapi bisa menyelesaikan permasalahan secara total. "Masyarakat jangan sampai dininabobokkan dengan proyek tanam pohon dibandingkan bencana yang sudah dan akan terjadi akibat perubahan iklim," kata Bambang. Terkait uang kompensasi karbon, menurut dia harus ditujukan kepada masyarakat yang langsung merasakan dampak perubahan iklim. Aceh berhak memperoleh dana kompensasi karena juga merasakan efek negatif dari perubahan iklim serta memiliki hutan yang terluas yang mampu menyaring emisi. Hutan Aceh merupakan kekayan penting sebagai penyerap karbon namun karena letak geografis dan geologis yang rawan bencana Aceh sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Berdasarkan catatan Walhi, sepanjang 2007 terjadi 75 bencana ekologis yang disebabkan perubahan iklim ditambah buruknya kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Terlebih lagi akibat musibah gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004, terjadi penurunan maupun penaikan permukaan geografis di daerah pesisir Aceh. Akibatnya masyarakat diselimuti kekhawatiran bencana banjir dan longsor. Kekhawatiran kemungkinan terus terjadi bila deru mesin pomotong kayu tidak mengindahkan kebijakan moratorium. (*)

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008