Oleh Edy Supriatna Sjafei Jakarta (ANTARA News) - Meskipun Ahmadiyah merupakan gerakan agama kultural, namun Surat Keputusan Bersama (SKB) yang memerintahkan kepada penganut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) untuk menghentikan penyebaran bersifat mengikat. Pemerintah harus mengawasi penyebaran, penafsiran dan dakwah Ahmadiyah, yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam. Menurut pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Dr. Mas`ud Said, penghentian JAI merupakan "pintu" bagi pemerintah untuk menciptakan keamanan dan kedamaian di Indonesia. "Penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW jelas menyalahi peraturan," kata Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni ketika menjelaskan Surat keputusan Bersama (SKB) bernomor 3/2008, Nomor Kep-033/A/JA/6/2008 dan nomor 199 tahun 2008, tanggal 9 Juni 2008 itu kepada pers di Jakarta, Senin (9/6). Didampingi Mendagri Mardiyanto dan Jaksa Agung Hendarman Supandji, Menag mengatakan, SKB ini memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk mematuhi Pasal 1 UU No.1/PNPS/1965. Penganut dan pengurus JAI yang tidak mengindahkan perintah dan peringatan ini, kata Menag Maftuh, dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundangan termasuk terhadap organisasi dan badan hukumnya. Menag menjelaskan, isi SKB ini juga memberi peringatan dan memerintahkan kepada masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota dan pengurus jemaah Ahmadiyah Indonesia. Namun, ia juga mengingatkan bahwa SKB ini bukanlah intervensi negara terhadap keyakinan seseorang, melainkan upaya pemerintah sesuai kewenangan yang diatur oleh undang-undang dalam rangka menjaga dan memupuk ketentraman beragama dan ketertiban kehidupan bermasyarakat. Mas`ud mengatakakan, setelah SKB terbit, maka tahap berikutnya adalah Front Pembela Islam (FPI) juga harus dibekukan, sehingga "pertarungan" antara Ahmadiyah, FPI dan masyarakat yang menginginkan pembubaran FPI dapat diselesaikan secara baik. Ia sependapat bahwa siapapun pelaku kekerasan terutama dalam insiden Monas 1 Juni lalu harus ditindak tegas dan diadili, tidak hanya dari kelompok FPI tetapi juga kelompok lain yang juga bertindak anarki. Mas`ud mengatakan, selama kurun waktu 2001 hingga 2008 ini, kekerasan yang bersentuhan dengan keyakinan paling tinggi dilakukan oleh FPI sehingga tidak ada alasan pemerintah untuk tidak membekukan FPI, karena itu mencoreng umat Islam. Menurut dia, penciptaan situasi damai akan membuka peluang bagi seluruh komponen bangsa untuk menciptakan kerukunan dan kedamaian antar umat beragama di Indonesia, serta membuka peluang investasi dan kunjungan wisata dari mancanegara. Kondisi damai dan aman selama ini yang selalu diimpikan setiap warga negara. "Dengan dibekukannya Ahmadiyah dan tahap berikutnya FPI, maka pertentangan antar umat Islam sendiri akan terminimalisir bahkan justru menguatkan kerukunan umat," katanya. Mas`ud Said juga mengakui, dalam kondisi seperti sekarang ini pemerintah sulit bersikap. "Namun, dengan keluarnya SKB ini, paling tidak pemerintah telah membuka pintu bagi terciptanya kedamaian, keamanan dan kenyamanan di negeri ini, dengan catatan tidak lama lagi pemerintah juga mengeluarkan surat yang sama bagi FPI," katanya menambahkan. Secara terpisah, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), menegaskan bahwa seharusnya Pemerintah bisa bersikap lebih tegas seperti apa yang difatwakan MUI bahwa Ahmadiyah sesat. "Kami tetap meminta agar Pemerintah membubarkan dan melarang Ahmadiyah di Indonesia. Ini belum bisa menyelesaikan masalah," kata KH Cholil Ridwan di Jakarta, Senin (9/6), terkait dengan keluarnya SKB yang dinilai banyak pihak terbitnya sangat lambat. Pihaknya telah menduga bahwa bunyi SKB tidak menyebutkan melarang dan membubarkan Ahmadiyah. "Kami sudah duga sebelumnya, bahwa memang SKB itu akan demikian bunyinya," kata Cholil Ridwan. "Yang penting sekarang pemerintah harus konsekuen bahwa aparat harus melakukan pengawasan sampai ke pelosok-pelosok. Ini juga sebetulnya jadi pekerjaan rumah buat kita. Memang kalau harus begini caranya, ya kita jalankan saja. Mungkin memang harus ada pelanggaran dulu oleh Ahmadiyah," kata Cholil Ridwan. Ia mencontohkan, di Makkah, Arab Saudi, Ahmadiyah dikatakan sebagai kafir dan mereka dilarang untuk memasuki kota Makah. "Di Pakistan juga dilarang dan mereka hidup sebagai sebuah aliran di luar agama Islam," kata Cholil Ridwan. Seharusnya pemerintah hanya memberikan dua pilihan saja pada Ahmadiyah. "Mereka tobat dan kembali kepada ajaran Islam yang khaffah. Atau membikin aliran agama sendiri di luar Islam seperti di Pakistan," kata KH Cholil Ridwan. Meskipun Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai peringatan kepada penganut Ahmadyah telah diterbitkan, namun pemerintah diharapkan terus mengamati perkembangan masalah Ahmadiyah. "Penerbitan SKB tersebut merupakan langkah yang tepat untuk menekan aktivitas Ahmadyah saat ini, namun pemerintah tetap diharapkan terus mengamati perkembangan masalah Ahmadyah tersebut," kata Wakil Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Sulawesi Barat, Amran H. Borahima, SAg. MPd di Mamuju, Selasa. Menurut Amran yang juga dosen pengajar di sejumlah perguruan tinggi swasta di Mamuju ini, SKB yang diterbitkan pemerintah tersebut dinilai masih lemah karena intinya hanya menyangkut pengurangan aktivitas Ahmadyah, padahal Ahmadyah ini sudah merupakan salah satu bagian organisasi Islam yang jumlahnya cukup besar di Indonesia. "Masalah Ahmadiyah harus dilihat secara proporsional, sebab kalau hanya menyangkut keyakinan secara individu, mungkin sah-sah saja, tetapi kalau secara keagamaan akan menimbulkan masalah, khususnya bagi kelompok Islam," ujarnya. Sebab, kata Amran, kelompok Ahmadiyah bukan merupakan agama baru, tetapi salah satu bagian dari kelompok Islam, yang ajarannya mengakui nabi selain Nabi Muhammad SAW, sehingga secara delik hukum dianggap sebagai tindakan penistaan agama. Oleh karena itu, lanjut dia, kalau sebagian besar umat Islam masih mempermasalahkan keberadaan organisasi Ahmadiyah ini, dan dianggap dapat mengancam kerukunan umat dan keutuhan bangsa dan negara, maka pemerintah bisa mengambil sikap lebih tegas dengan membekukan atau membubarkan organisasi tersebut. (*)

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008