Kemerdekaan sebagai berkah Allah yang harus dijaga semua pihak, utamanya insan pers sendiri."
Jakarta (ANTARA) - “Ya, harus dikalbui cinta. Dikalbui cinta ini istilah saya untuk membuktikan cinta tiada batas, dan saling membutuhkan. Istilah ini saya persembahkan pertama untuk Ibu Ainun. Saya terapkan pula sebagai pertanggungjawaban pribadi profesional."

Untaian kalimat tersebut disampaikan Bacharuddin Jusuf Habibie, yang wafat Rabu ini, sesaat setelah menyatakan dirinya menerima usulan untuk mendapat Medali Emas Kemerdekaan Pers dari komunitas Hari Pers Nasional (HPN) di kediaman Jalan Patra Kuningan, Jakarta, 16 Januari 2013.

Baca juga: Saat wafat BJ Habibie ditemani keluarga

Habibie saat itu awalnya menolak untuk menerima penghargaan dari komunitas pers nasional yang melibatkan Dewan Pers, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Serikat Perusahaan perS (SPS), Serikat Grafika Pers (SGP), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I).

Namun, Habibie akhirnya luluh menerima penghargaan itu manakala Wakil Ketua Dewan Pers Bambang Harimurty menyinggung betapa kebijakan BJ Habibie menandatangani Undang Undang Pers Nomor 40 pada 23 September 1999 juga wujud kebijakan pro-demokrasi untuk kemerdekaan pers yang dikalbui cinta.

“Ah, saya tersentuh dengan ungkapan pers harus dikalbui cinta. Baiklah, saya berterima kasih untuk anugerah yang akan diberikan, namun ini semua saya kembalikan untuk teman-teman pers tetap menjaga profesinya demi kecintaan kepada masyarakat,” ujar Habibie di ruang perpustakaan pribadinya kala itu.

Baca juga: Habibie, jenius pembuat pesawat itu telah pergi

Baca juga: Pesawat buatan Habibie terbang perdana di Majalengka


Habibie saat menjabat Presiden RI pada 21 Mei 1998 hingga 20 Oktober 1999 menandatangani sedikit-dikitnya empat UU yang demokratis, yakni UU Nomor 2 tahun 1999 tentang Partai Politik, UU Nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), UU Nomor 4 tahun 1999 tentang Susunan Kedudukan DPR/MPR dan UU Nomor 40 tentang Pers.

Pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936 itu pun sempat menceritakan bahwa saat mendapat mandat menjadi Presiden RI --meneruskan jabatan HM Soeharto, yang menjadi Presiden RI periode 1966-1998-- langsung banyak mendapatkan informasi penting dari berbagai pihak terpercaya.

Informasi penting itu termasuk dari kalangan intelijen yang menyebut sebagai “Info A-1”, namun Habibie malah mengungkapkan sering bingung karena informasi yang masuk saling tumpang tindih. Akhirnya, naluri kepemimpinannya menilai bahwa informasi dari pers adalah yang terpenting karena mewakili suara dan kepentingan publik.

“Dikalbui cinta. Ini pula yang menjadi keyakinan saya saat menjabat Presiden memutuskan menandatangani Undang-Undang Pers. Harus ada payung hukum untuk menjamin kemerdekaan pers sebagai bagian kebebasan ekspresi,” katanya kala itu.

Padahal, ia pun mengakui banyak pihak yang menentang kebijakannya karena menilai kebebasan pers justru dapat mengekang kebijakan politiknya.

“Saya ingat sekali, banyak pihak yang saat itu berkomentar kalau kemerdekaan pers bisa berbalik menghantam kebijakan saya selaku Presiden maupun pribadi. I don’t care. Saya sangat yakin apapun yang saya lakukan harus ada yang awasi. Pers adalah salah satu mekanisme publik untuk awasi saya. Ini harga demokrasi yang sangat mahal,” ujarnya.

Di hadapan sejumlah tokoh pers nasional, antara lain Atmakusumah Astraatmadja, Sofyan Lubis, Parni Hadi, Ishadi Sk, Bambang Harymurti dan Margiono, di rumahnya BJ Habibie sangat bersemangat menceritakan kembali kisah di balik lahirnya UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

“Saat saya memutuskan undang-undang untuk menjamin kebebasan pers karena merasa hal ini memang harus dilakukan. Pers adalah wakil kecerdasan dan kreativitas berekspresi. Mana mungkin kecerdasan dan kreativitas kok dihambat?” kata ayah dari Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie tersebut.

Ucapan itu ditegaskan kembali oleh BJ Habibie saat menerima anugerah Medali Emas Kemerdekaan Pers dari Ketua Dewan Pers Bagir Manan dalam acara puncak Hari Pers Nasional (HPN) di Manado, Sulawesi Utara, pada 9 Februari 2013. Saat itu, ia sempat terlihat kaget manakala lagu "Sepasang Mata Bola" karya Ismail Marzuki dinyanyikan paduan suara untuk mengiringi momen penganugerahannya.

"Wow! 'Sepasang Mata Bola'. Kalian insan pers yang cerdas, tahu ini salah satu lagu kesukaan saya," ujarnya, spontan sambil tertawa.

Di hadapan khalayak HPN 2013, Habibie mengungkapkan keyakinannya bahwa insan pers memerlukan kecintaan, hasrat hati terhadap panggilan profesinya secara independen dengan lebih mengutamakan kepentingan orang banyak.

Habibie berpandangan bahwa pers harus menjadi pilar demokrasi yang setara dengan badan eksekutif, legislatif dan yudikatif.

“Bahkan, pers harus lebih merdeka, lebih independen dalam proses demokrasi,” kata Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada 1978--1998 itu.

Kesemua itu, menurut dia, bermula dari rasa dikalbui cintanya untuk Hasri Ainun Besari (11 Agustus 1937 – 22 Mei 2010), sang istri selama 48 tahun 10 hari.

Ainun disebutnya sebagai belahan jiwa (soulmate), dan menjadi inspirasi saat menjalani profesi sebagai ilmuwan perancang pesawat terbang, pimpinan perusahaan multinasional, teknokrat maupun pendidik dan politisi.

“Dikalbui cinta kepada Bu Ainun memicu semua hal dalam kedewasaan hidup dan inspirasi saya. Saya juga rela dikalbui cinta ini untuk menjamin kemerdekaan pers di Indonesia. Kemerdekaan sebagai berkah Allah yang harus dijaga semua pihak, utamanya insan pers sendiri. Jangan pernah dilepaskan, biar rakyat jangan susah,” demikian BJ Habibie, yang wafat di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, di usia 83 tahun.

Baca juga: Kenangan almarhum BJ Habibie "kepincut" baju melayu di Riau

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019