Jakarta, (ANTARA News) - Beli satu gratis satu, kredo ini berlaku ketika publik menyaksikan drama perempat final Piala Eropa 2008. Aktornya, Portugal, Jerman, Kroasia, Turki, Belanda, Rusia, Spanyol, dan Italia. Dan Bola tidak sebatas menyajikan tontonan, tetapi menghidangkan tuntunan, salah satunya dapat meminjam ungkapan dalam bahasa Latin "laudetur ut deleatur, artinya orang yang ditipu penjahat terus dipuji supaya dihancurkan. Penjilat selalu memuji. Ketika perempat final bersua maka belajarlah dari reaksi penggila bola yang tim kesayangannya meneguk kemenangan, atau menenggak kekalahan. Mereka dapat menyatukan suara, "Huuu...", atau memegang kepala, bahkan membelalakkan mata setelah melihat aksi lapangan pemain pujaannya yang nyaris mencetak gol ke gawang lawan. Sebaliknya, jauhi para fans yang kurang dapat menerima kekalahan karena menuntut kesebelasannya terus meraih kemenangan. Mereka ini patut mendapat sebutan sebagai penjilat bola. Siap menang, dan tidak siap kalah. Baik penjilat maupun penggila bola disatukan oleh dogma bahwa menjilat ke atas, menyepak ke bawah. Dalam bola, pemain dapat mengumpan dengan melayangkan bola ke atas untuk menyasar ke sesama teman, atau mengoper dengan menyusur tanah guna menembus lini pertahanan lawan. Tugas seluruh pemain, dari lini pertahanan, lini tengah sampai lini depan untuk membongkar keangkeran tembok pertahanan "kebudayaan kraton". Justru reaksi dari para penggila bola asal Belanda dan Italia mendekonstruksi mereka yang suka memanggil sejawatnya dengan menggunakan kata, "Bos." "Selamat siang, bos. Selamat Pagi, bos. Dan seterusnya, dan seterusnya, terpulang kepada situasi dan kondisi". Penggila bola, menghapus hubungan tuan-budak. Penjilat bola, mengukuhkan relasi tuan-budak. Sebaliknya, perhatikan bagaimana para penggila bola yang mengidolakan Belanda dan Italia secara bersama merayakan kemenangan timnya dengan melempar penutup bir yang terbuat dari plastik. Begitu Andrea Pirlo melesakkan bola ke gawang Prancis saat berlangsung laga di Zurich, ratusan pendukung Italia sontak bersorak. Situasi sama terjadi ketika pemain Belanda Klaas-Jan Huntelaar membobol gawang Rumania di Stade de Suisse, Berne. Gol kedua dicetak oleh Robin van Persie. Belanda unggul 2-0, Rumania tersingkir. Begitu pula Daniele De Rossi yang menyumbang satu gol bagi Gli Azzuri. Serba lepas dan serba spontan, tidak ada hubungan yang bertingkat-tingkat. "Ini benar-benar gila. Anda tidak akan dapat membayangkan peristiwa ini terjadi sebelumnya. Kami mencintai Belanda," kata instruktur fitnes asal Italia Gianni de Rossi yang melilitkan atribut Italia di lengannya. "Robin van Persie, pahlawan kami malam ini," katanya pula. Pernyataan senada diutarakan oleh mahasiswa Belanda, Job van Leeuwen. "Kami punya kesempatan mendepak Prancis dan Italia keluar dari turnamen ini. Justru kami tampil dengan fair, terbebas dari aroma persekongkolan. Ini pelajaran dari laga ini. Tidak ada masalah, meski kami perlu lebih mewaspadai Spanyol atau Portugal," katanya. Sementara itu, para pendukung Prancis beringsut keluar stadion. Mereka merasa ada teror dari tifosi, apalagi terdengar berulangkali teriakan, "Adieu, les Bleus". "Para pemain Belanda tampil dengan 'total footbal' dan bertanding dengan fair," kata pengusaha iklan asal Prancis, Lionel Auzet. "Meski hanya sepakbola, saya menyukai atmosfer yang berkembang sekarang di sini." Pernyataan spontan para penggila bola memuat sikap hormat, yang tidak lantas merosot kepada sikap "yesman" atau penjilat. Bola tidak mengajarkan orang untuk memilih bahkan menganjurkan orang bersikap Asal Bapak Senang (ABS). Bola menjauhkan orang untuk tidak bersekongkol, dan memilih sikap terbuka. Dan Italia tampil sebagai tim yang mengemas sikap terbuka terhadap aliran semangat jaman. Pasukan Donadoni paham bahwa laga perempatfinal melawan Spanyol (23/6) bermakna ganda, di satu sisi, perjuangan untuk bangkit, di lain sisi, tantangan untuk mengalahkan jebakan nasib. Dewi Fortuna kerap tidak berpihak kepada pasukan Gli Azzuri. Lamban meski terus berbenah diri, Italia punya energi plus untuk membenamkan trauma. Pada Piala Dunia 1982, Azzuri berturut-turut memperoleh hasil imbang dalam tiga laga, melawan Polandia (0-0), Peru (1-1), dan Kamerun (1-1). Bahkan para wartawan Italia melontarkan kritik tajam kepada pelatih Enzo Bearzot. Tiga pekan berikutnya, pelatih Italia membalik keadaan, karena mampu memetik kemenangan atas Jerman Barat 3-1. Bahkan, pasukan Bearzot menundukkan Argentina dan Brazil. Lawan Italia di perempat final tim Matador. Pelatih Luis Aragones sedari awal memberi aba-aba kepada pasukannya untuk berdamai dengan "virus perempat final". "Ini bukan tim yang ideal di perempat final. Situasinya teramat rumit," kata Aragones sesudah tim asuhannya menekuk Prancis 2-0. Media massa Spanyol telah meniupkan nafiri bahwa Italia bukan lawan enteng, dengan merujuk kepada perempat final Piala Dunia 1994. Dengan emosi meletup, harian kondang Spanyol El Mundo menurunkan kepala berita, "Ah Mamma Mia! Ungkapan itu mencerminkan kekhawatiran akan kebangkitan "squadra azzura" di Stadion Ernst Happel, Wina. "Mereka musuh dalam selimut," kata harian Publico. Ini menunjuk kepada grafik penampilan Italia yang menunjukkan peningkatan. Meski para pengamat mencatat bahwa Spanyol tidak perlu berkecil hati, karena Italia tidak diperkuat dua pemain pilar masing-masing Andrea Pirlo dan Gennaro Gattuso karena terkena larangan bertanding. Opini media massa dan pengamat sepakbola bagaikan angin segar yang bertiup di kubu Aragones. Paling tidak, tim Matador menyadari bahwa kontes kemenangan dalam sebuah laga kerap dihiasi dan didahului oleh kepura-puraan. Seakan-akan tidak berhasrat menang, padahal dalam hati rindu menang juga. Malu-malu kucing, atau jinak-jinak merpati. Spanyol tampil orisinal, karena paham bahwa menjadi penggila bola, lebih luhur nilainya ketimbang tampil sebagai penjilat dalam laga kehidupan. Sementara, hampir 60 persen penggila bola yang mendukung Spanyol mempercayai Italia akan memenangi laga perempat final itu, demikian hasil jajak pendapat lewat internet yang diwartakan oleh harian El Pais. Masa lalu kurang berpihak kepada Spanyol. Pada Piala Dunia 1986, Spanyol takluk kepada Belgia lewat adu penalti. Duka itu terjadi pada 22 Juni. Rentetan kekalahan diterima tim Matador, kalah dari Inggris di Piala Eropa 1996, ditundukkan Korea Selatan pada Piala Dunia 2002. Spanyol sedang menimba kebijakan dari kisah Odysseus yang bersama rekan-rekan sekapalnya terpenjara di gua Cyclps. Cyclops menghardik para tawanan untuktidak begitu saja melarikan diri, tetapi membiarkan kawanan domba keluar merumput. Tiap kali domba itu keluar, Cyclops meraba punggungnya, untuk mengecek apakah ia tidak membawa penumpang. Odysseus akhirnya bisa keluar dan menyelamatkan diri dari Cyclops dengan berlindung di bawah domba-dombanya. Dan Spanyol tidak lagi perlu berteriak, "Oh,Mama, Mia", karena bola tampil sebagai upaya menyalurkan dan mengosongkan kekerasan dalam masyarakat. Bola adalah kambing hitam dari naluri kekerasan, termasuk di dalamnya keinginan menjadi penjilat dalam laga kehidupan. Kemenangan semata-mata milik penggila bola. Dan Spanyol trampil memainkan drama pengorbanan itu. (*)

Pewarta: A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008