Bondowoso, (ANTARA News) - Kalau Pulau Belitung memiliki guru Muslimah yang sangat menginspirasi murid-muridnya sebagaimana ditulis Andrea Hiarata dalam novel "Laskar Pelangi", di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur tidak sedikit pengajar pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang memiliki semangat setinggi Muslimah. Salah satunya adalah, Wiwik Susianti (36), pengelola sekaligus pengajar PAUD Nusa Indah I dan II di Dusun Karang Tengah, Desa Sumber Sari, Kecamatan Maesan. Muslimah dengan Wiwik sama-sama memiliki semangat tanpa pamrih untuk mencerdaskan anak-anak di desanya. Bukan kebetulan kalau keduanya memiliki beberapa kisah sama dalam perjuangannya. Keduanya sama-sama menekuni usaha menjahit untuk mendapatkan penghasilan. Dengan hanya mengandalkan honor Rp50.000 setiap bulan dari Dinas Pendidikan, tidak cukup bagi Wiwik untuk membantu pendapatan suaminya, Razak yang hanya bekerja sebagai petani. Jika Andrea Hirata begitu berkesan melihat Bu Muslimah datang ke sekolah di tengah hujan lebat berpayungkan daun pisang, Wiwik juga pernah menjalani lakon "heroik" seperti itu. "Saat itu saya pulang dari mengajar berjalan kaki bersama anak saya. Tiba-tiba turun hujan lebat. Untung saat itu saya membawa silet sehingga mudah memotong daun pisang untuk payung melindungi anak saya," cerita Wiwik. Wiwik yang hanya lulusan SMP dan Kejar Paket C itu mengajak ANTARA untuk menyusuri jalan setapak di pematang sawah kemudian melingkari bukit sekitar 2,5 kilometer dari rumah menuju sekolahnya. Satu hal yang membuat perjuangan Wiwik lebih berat dari Muslimah adalah karena ia mendidik anak-anak kecil yang setiap pagi sekitar pukul 05.30 WIB ditinggal oleh ibu-ibu mereka untuk bekerja sebagai buruh di gudang tembakau. Kalau setiap pagi Muslimah menghadapi 10 anggota Laskar Pelangi di SD Muhammadiyah dalam keadaan bersih, tidak demikian dengan Wiwik. Ia berhadapan dengan anak-anak ingusan yang betul-betul datang ke sekolah masih dengan wajah beringus. "Anak-anak itu bangun dan berangkat sendiri ke sekolah dengan pakaian yang dipakai saat tidur. Karena itu saya memandikan mereka sebelum belajar dimulai," katanya. Ia juga mencukur rambut mereka pada hari Jumat karena jam belajarnya lebih pendek dari hari biasanya kegiatan mencukur bisa berlangsung dari pukul 07.30 hingga pukul 10.00. Dari rumah Wiwik sudah mempersiapkan sabun, bedak dan sisir untuk merawat anak-anak asuhnya itu. Ia "menggiring" mereka ke sebuah kolam kecil sekitar 20 meter arah selatan dari lokasi sekolah PAUD Nusa Indah I. Perempuan berjilbab itu mengaku senang dan tidak terbebani dengan pekerjaan gandanya. Ia mengaku merasa bahagia karena telah berbuat sesuatu untuk orang lain, meskipun bagi orang lain dinilai sepele. "Saya justru heran dengan orang kaya yang tidak pernah peduli kepada orang lain, khususnya anak-anak yang terlantar karena tidak sekolah," katanya. Ia tidak menuntut banyak kepada para orangtua murid. "Mereka mau menyekolahkan anak-anaknya saja sudah bagus," katanya. Wiwik tergerak mengajar setelah sebelumnya sering melihat anak-anak kecil usia tiga hingga enam tahun bermain di bawah bukit saat jam sekolah. Melihat itu ia bertanya kepada para orangtua di Dusun Karang Tengah yang membiarkan anak-anaknya tidak bersekolah. "Saat itu tahun 2004. Orangtua mereka menjawab, karena di TK biayanya mahal dengan iuran Rp5.000 setiap bulan maka mereka tidak mampu menyekolahkan anak. Untuk masyarakat buruh dan petani, uang sebesar itu mahal karena masih ada beban untuk seragam dan lainnya," katanya. Keadaan itu membuatnya berfikir untuk mendirikan PAUD. Sekitar satu bulan ia berkomunikasi dengan orangtua di dusun tersebut berbicara mengenai kemungkinan mendirikan sekolah nonformal bagi anak-anak. Setelah para orangtua setuju, membuka PAUD yang biayanya lebih murah dari TK, maka Wiwik mulai mencari tempat. Ditemukanlah musalah berukuran sekitar 4 x 4,5 meter milik Muallim, yang dapat dipakai. Ia membulatkan tekadnya untuk mengajar anak-anak dan mengambil keputusan meninggalkan pekerjaannya sebagai tukang atau buruh batik. PAUD Nusa Indah I berdiri April 2004 dengan murid angkatan pertama 27 orang. Wiwik mulai mengajar sendiri anak-anak itu, Kamis, 14 April 2004 atau tiga hari setelah anak pertamanya ulang tahun. Ia mengajar tanpa sedikitpun bekal pengetahuan di bidang pendidikan untuk mendidik anak-anak usia dini tersebut. "Saya hanya belajar dari melihat guru TK anak saya. Setiap ngantar anak sekolah, saya perhatikan bagaimana gurunya mengajar. Hanya ilmu itu yang saya gunakan awal-awal mengajari mereka," katanya. Keterbatasan fasilitas tidak menjadi hambatan baginya. Hingga saat ini sekolah itu tidak memiliki alat permainan edukatif (APE) apapun sebagaimana layaknya pendidikan prasekolah. "Dulu pernah mendapat bantuan gambar-gambar, tapi sekarang sudah rusak. Jadi saya mengajari mereka hanya dengan doa-doa, menari dan pengenalan huruf karena sebelum masuk SD sekarang ini anak-anak dituntut bisa membaca," katanya. Uang Habis, Jalan Kaki Meskipun awalnya suami Wiwik sempat menyetujui ia mengajar, namun karena penghasilannya yang hanya Rp50.000 setiap bulan, Razak sempat mempertanyakan pilihan isterinya itu. Apalagi untuk menuju ke sekolah ia juga sering naik ojek. "Waktu itu ojeknya Rp4.000 pulang pergi selama lima hari dalam satu minggu. Karena honor itu tidak cukup, saya sering jalan kaki. Karena malu dilihat orang, saya memilih jalan kaki melewati sawah-sawah dan perbukitan yang jaraknya bisa mencapai 2,5 kilometer," katanya. Karena merasa kewalahan mengajar sendiri, pada akhir 2005, ia dibantu Imam Ryan Hidayat, adiknya. Maka, honor yang Rp50.000 pun dibagi dua dengan Imam karena tidak mudah mendaftar guru baru langsung mendapatkan insentif dari dinas pendidikan setempat. Meskipun demikian, ia tidak patah semangat. Bahkan, agar anak-anak asuhnya tidak kurang pergaulan, setiap ada perlombaan di kecamatan, Wiwik selalu berusaha mengikutkan mereka, seperti karnaval. Mengenai biayanya, ia mencari sendiri karena tidak mungkin meminta orang tua siswa yang sudah dibebani iuran Rp1.500 setiap bulan dan sejak dua tahun lalu sudah dinaikkan menjadi Rp2.000. "Untuk ikut lomba, uang Rp200.000 tidak cukup. Akhirnya saya ngebut mengerjakan jahitan untuk menutupi kebutuhan anak-anak itu," katanya. Melihat kegigihan istrinya yang memang tidak bertujuan untuk mencari materi, akhirnya Razak bisa menerima kenyataan tersebut. "Namanya rezeki itu kan tidak hanya dari itu. Mungkin barokahnya yang didapat dari mengajar anak-anak," kata Razak. Tidak hanya untuk anak-anak, pada pertengahan 2005, Wiwik kemudian memberikan sebagian hidupnya dengan mengajari para orangtua yang buta huruf lewat program kebutaaksaraan fungsional (KF). Pengorbanan besar itu bukannya berjalan dengan puja-puja. Tidak jarang ia mendapatkan fitnah dari orang-orang tertentu. Peristiwa paling berat ia rasakan saat seorang anak didiknya tiba-tiba mogok belajar. "Awalnya saya biarkan, tapi setelah satu minggu tidak masuk saya datangi ke rumahnya. Aneh, orangtua anak itu terlihat tidak enak melihat saya. Saya tanya mengapa anaknya tidak masuk, dia menjawab tidak ada apa-apa, tapi saya merasakan ada sesuatu," katanya. Akhirnya ada warga lain yang memberitahu bahwa orangtua anak itu marah karena mendapat kabar bahwa hadiah lomba membaca puisi berupa sepeda pancal untuk anak-anak telah diambil oleh Wiwik. "Masya Allah, padahal anak itu ikut lomba puisi kalah. Orangtuanya ikut waktu pengumuman pemenang. Saya dapat sepeda untuk anak saya itu hasil dari panen lombok kamudian beli Rp250.000 di Jember. Saya bawa kwitansinya dan saya tunjukkan. Akhirnya anak itu mau sekolah lagi," katanya. Selama tiga tahun Wiwik menjalani lakon seperti itu, sebelum kemudian ia mendirikan PAUD Nusa Indah II di dekat rumahnya karena melihat juga banyak anak-anak yang tidak tertampung di TK dengan alasan biaya terlalu mahal. "Sejak 2007 saya tidak mengajar di PAUD Nusa Indah I, saya serahkan ke adik saya dan Ibu Mega, guru lainnya. Meskipun demikian saya yang tetap mengelola PAUD itu," katanya. Karena Imam Ryan Hidayat laki-laki, maka prosesi memandikan setiap pagi dan mencukur rambut pada hari Jumat tidak lagi dialami anak-anak PAUD itu. Selain tidak bisa mencukur, masih ada norma tidak pantas jika laki-laki yang tidak ada hubungan keluarga memandikan anak perempuan. "Nanti awal Juli 2008 saya akan mengajar lagi di PAUD Nusa Indah I karena Bu Mega sudah mau melahirkan. Pekerjaan memandikan dan mencukur akan saya kerjakan lagi di sana," kata Wiwik. Satu hal yang selama ini mengganjal pikiran Wiwik adalah, musalah tempat PAUD itu digelar yang tidak memiliki alas, kecuali tegel. Ia selalu prihatin karena anak-anak belajar sambil duduk di atas lantai yang dingin. "Tapi alhamdulillah pada pertengahan Juni 2008 ada orang yang membantu membelikan dua tikar. Orang itu sebetulnya mau membelikan karpet, tapi karena biasanya karpet `menyimpan` debu akhirnya dibelikan tikar. Saya senang dan anak-anak pasti senang juga," katanya. Apakah lembaga yang didirikan itu tidak pernah mendapatkan bantuan? Wiwik mengaku pernah dua kali dikunjungi Ketua Forum PAUD Bondowoso, Ny Ny Hj Sri Utami, isteri bupati Mashoed yang memberikan bantuan makanan, sabun, handuk dan keperluan mandi. "Saya sekarang senang karena upaya saya sudah menunjukkan hasil. Anak-anak lulusan PAUD Nusa Inda ini rata-rata berprestasi saat di SD. Salah satunya di SD Sumber Sari II yang kepala sekolahnya banyak mengucapkan terima kasih ke saya," kata Wiwik. Pengelola PAUD Anak Sholeh, Tenggarang, Bondowoso, Evy Yulistiowati Pramono, SPd mengaku prihatin karena di PAUD Nusa Indah I itu tidak ada sama sekali alat permainan yang seharusnya pendukung "roh" pendukung untuk merangsang perkembangan anak. Ia mengaku salut dengan perjuangan Wiwik yang betul-betul tanpa pamrih. Ia menilai, meskipun semua guru PAUD adalah pengabdi yang tulus, namun perjuangan Wiwik memiliki nilai lebih dan luar biasa. "Seharusnya para pemimpin di negeri ini belajar dari keikhlasan orang-orang seperti Bu Wiwik. Namun demikian, pemerintah tidak boleh membiarkan Wiwik dan mungkin Wiwik-Wiwik lainnya berjuang sendirian seperti itu. Ia harus diperhatikan dan dibantu," kata Ketua Himpaudi (Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia) Kecamatan Tenggarang itu. Sementara Sekretaris Forum PAUD Kabupaten Bondowoso, Ida Syafriani, SSos, MSi menyatakan, perjuangan para guru PAUD di wilayahnya memang luar biasa. Karena itu pihaknya ikut berjuang agar pemerintah ikut memikirkan kesejahteraan mereka. "Pemerintah daerah untuk saat ini sudah banyak perhatian, meskipun nilai insentifnya hanya Rp50.000 setiap bulan. Untuk jangka panjang, kami berharap mudah-mudahan nasib guru PAUD ini bisa seperti sekretaris desa yang diangkat sebagai pegawai negeri," katanya.(*)

Oleh Oleh Masuki M. Astro
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008