Tokyo (ANTARA News) - Negara-negara maju dan berkembang di Asia memiliki perbedaan yang besar dalam menentukan masa depan kebijakan pangannya (beras, red), yaitu antara melindungi petaninya dan memaksa kebijakan ekspor yang progresif. Demikian pandangan yang diungkapkan pakar pembangunan ekonomi pertanian Jepang dalam simposium sehari yang digelar oleh Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang di Tokyo, Sabtu, berkaitan dengan terjadinya krisis pangan di dunia saat ini. Profesor Keishiro Itagaki dari Tokyo University of Agriculture mengatakan, negara maju di Asia, seperti Jepang dan Korea Selatan cenderung mempertahankan kebijakan pangan domestiknya, sementara negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN) justru bertindak progresif mendorong kebijakan ekspor berasnya. "Jepang dan Korsel akan tetap menentang impor beras guna melindungi pendapatan petani berasnya. Sedangkan ASEAN seperti yang ditunjukkan Thailand dan Vietnam justru melakukan ekspor beras secara progresif," kata Itagaki yang menjadi salah satu pembicara kunci dalam simposium tersebut. Secara umum, katanya, kebijakan masa depan beras di Asia akan banyak ditentukan oleh dua faktor, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara dan bagaimana kebijakan akan impor atau ekspor berasnya. Simposium yang dihadiri sejumlah diplomat ASEAN dan para akademisi dari Universitas tersebut juga menjelaskan betapa perbedaan tersebut justru memunculkan kerjasama yang baik, dan bukan memicu ketegangan ataupun krisis pangan yang berlarut-larut. Itagaki mengemukakan, Jepang justru bisa membantu negara-negara tetangganya itu dalam membangun kemandirian pangan yang nantinya malah mendorong mewujudkan stabilitas pangan internasional. Ia pun lantas menjelaskan secara detail masa depan kebijakan Jepang dan Korsel yang tetap fokus pada produktivitas dan menjamin dukungan politik yang pro petani lokal. Menghindari intervensi pemerintah dan mempercayai mekanisme pasar, serta meningkatkan kualitas beras sesuai tuntutan konsumen. Sedangkan negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Filipina berupaya keras pada upaya swa sembada beras, pemerintahnya ikut berperan dalam menstabilkan harga beras, serta mendorong produktifitas melalui pemberian subsidi dan pengenalan akan teknologi pertanian baru. Kebijakan pangan di Myanmar, Kamboja dan Laos ternyata masih berkutat pada kegiatan pembangunan infrastruktur pertanian seperti fasilitas irigasi dan upaya perluasan lahan persawahan. Menyinggung peran Jepang dalam membantu upaya ketahanan pangan ASEAN, Itagaki menyebutkan sejumlah kegiatan yang pada dasarnya menciptakan kerjasama yang saling menguntungkan, terlebih di era global seperti sekarang ini. Menurutnya, Jepang bisa menjadi tempat bagi pasar beras ekspor, menyediakan dana khusus untuk mendukung ketersediaan stok beras di ASEAN, memberikan teknologi dan pengetahuan akan produksi padi yang berkualitas dan aman. Selain itu, membantu merehabilitasi proyek-proyek irigasi. Hal yang tidak kalah pentingnya ujar itagaki, adalah membangun sistem informasi akan tingkat perkiraan kebutuhan dan suplai pangan yang memadai, sehingga bisa dilakukan penyesuaian terhadap kebijakan pangan berikutnya. "Kerjasama ini mutlak diperlukan, mengingat di masa mendatang ASEAN justru bisa mengalami persoalan pangan akibat kelebihan produksi beras," katanya.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008