Jakarta (ANTARA News) - Ridwan Saidi salah seorang tokoh Betawi, merasa bersalah karena selama ini sebagai orang Betawi dia maupun komunitas etnis tersebut gagal menyampaikan "gaya hidup" metropolis yang menghargai keberagaman kepada warga pendatang di Jakarta. "Dulu di Jakarta masyarakatnya hidup rukun meskipun dari suku bangsa dan etnis berbeda, karena sejak dulunya kota ini dihuni masyarakat berbagai bangsa," kata Ridwan Saidi dalam diskusi Budayawan Betawi di Newseum Bataviase Nouvelles di Jakarta, Jumat malam. Ia pun berkisah, semasa muda di permukimannya di Betawi Tengah, para tetangga berasal dari berbagai suku bangsa. Bila di pagi hari ia membuka pintu dan jendela rumah, ia akan melihat tetangga di sebelah kanan adalah warga berasal dari Bombay, di sebelah kiri rumah Chairil Anwar, di depan ada warga Jerman yang masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Chaidir dan tetangga lain berasal dari Ambon, Bali, orang China dan banyak lagi. Menurut dia, leluhur orang Betawi memang bermacam-macam, bahkan apabila ditelusur ke atas, kebanyakan akan bertemu dengan orang asing sebagai leluhur, entah Belanda, Jerman, Bombay, Arab. Sekitar awal tahun 1970-an kerukunan agama juga berjalan baik, orang Betawi biasa bermain di halaman gereja, di halaman kelenteng, kalau Natal beranjangsana ke tetangga yang nasrani, sebaliknya ketika lebaran Idul Fitri mereka yang mengunjungi kami, katanya. "Belanda dansa tidak kita timpuki, boleh aja berdansa tapi kami intip," tutur pria yang lahir di Jakarta, 2 Juli 1942 dan dikenal sebagai anggota DPR dan budayawan Betawi itu. Keberagaman yang sudah mengakar dalam kehidupan orang Betawi itulah yang membuat Jakarta sejak masih bernama Batavia menjadi kota kosmopolitan. Daya tarik Jakarta itu menyebabkan banyak orang dari daerah berdatangan, kebanyakan mereka berasal dari komunitas yang tunggal, mengenal satu budaya dan satu agama, sehingga ketika berada di Jakarta menurut Ridwan Saidi belum bisa menyesuaikan diri dengan keragaman. "Ini salah saya, sebagai warga Betawi kami tidak bisa mengajak pendatang untuk memahami budaya yang beragam," katanya. Ridwan lulusan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia itu menyadari diri sebagai orang aseli Jakarta ketika masa sekolah dasar. Pada waktu itu, jika tiba waktu libur kebanyakan teman-temannya pulang kampung dan Ridwan tidak pernah diajak pulang kampung oleh orang tuanya. "Mau pulang kemane, kita tidak punya kampung," kata enyaknya yang membuat Ridwan sadar atas posisi dirinya sebagai "bukan orang udik" sehingga tidak bisa mudik. Namun Ridwan seperti juga banyak orang lain pun mempertanyakan asal usul orang Betawi dan dia aman geram oleh pernyataan penulis Lance Castles yang menyebut orang Betawi sebagai keturunan budak. Mengenai posisi Jakarta sebagai kota kosmopolitan, terbentuk karena wilayah ini dihuni warga yang meliputi berbagai etnik dan suku bangsa, sehingga penduduk asli, yaitu orang Betawi, secara historis dan tradisi sudah terbiasa dan mudah menerima pendatang. Mona Lohanda, ahli sejarah dan arsipatoris tentang Jakarta atau Batavia pada masa silam, pernah mengemukakan bahwa dalam perjalanan sejarahnya kota Batavia dan kemudian menjadi Jakarta sejak awal sudah dihuni oleh beragam etnis, suku bangsa. Tradisi berbaur dengan masyarakat yang beraneka bangsa itu melahirkan sikap hidup orang Betawi yang selalu mudah bergaul, tegas Mona. Seorang pemuda Betawi, JJ Rizal yang juga menekuni sejarah etniknya mengaku tidak terganggu dengan pernyataan Lance Castles yag menyebut orang Betawi sebagai keturunan budak. Menurutnya ada banyak leluhur orang Betawi. Sebenarnya Lance Castles bahkan menuliskan sesuatu yang lebih mulia yaitu menyatakan bahwa Republik Indonesia berutang pada Jakarta, pada Batavia, karena di kota inilah orang Indonesia dibentuk dan republik diproklamirkan. "Di Jakarta Tuhan menciptakan orang Indonesia" tulis Lace Castle mengenai komunitas beragam antarsuku yang berbaur dan membentuk identitas baru sebagai orang Indonesia. Menurut Rizal, sarjana sejarah lulusan Universitas Indonesia, pembentukan identitas baru ini adalah sesuatu yang lazim. Seseorang yang keluar dari akar budayanya (kaum urban misalnya) ada kemungkinan dia akan mempertahankan budayanya menjadi lebih kental, tetapi ada kemungkinan lain pula akan melebur dengan budaya di tempat yang baru. Pater Adolf Heuken, SJ yang juga dikenal sebagai penulis sejarah Jakarta menegaskan, leluhur budak hanya salah satu komponen dari sekian banyak komunitas warga yang mendiami Batavia. "Orang Bali dan beberapa suku lainnya datang ke Batavia sebagai orang bebas yang mencari pekerjaan, bukan budak," tuturnya. "Yang seharusnya malu bukan keturunan para budak itu tetapi adalah mereka yang memperbudak manusia," tegasnya. Hari lahir Jakarta dipertanyakan Dalam diskusi budayawan Betawi yang diselenggarakan untuk menyongsong hari Jadi Jakarta ke 481, di Newseum Bataviase Nouvelles, empat budayawan yang dihadirkannya menanggapi pertanyaan peserta yang mempertanyakan keabsahan tanggal 22 Juni sebagai hari lahir Jakarta. Ridwan Saidi misalnya bereaksi sangat keras, mengecam penentuan tanggal tersebut sebagai hari lahir kota Jakarta, dan khususnya mengelu-elukan Pangeran Fatahillah sebagai pahlawan bahkan direncanakan dibuat patung untuk mengenang dan menghormatinya. "Fatahillah itu menyerbu orang Betawi, membakar rumah dan membuat rakyat Betawi sengsara, bagaimana mungkin bisa dijadikan pahlawan?" cetusnya, dalam diskusi dengan moderator budayawan Taufik Rahzen. Sementara JJ Rizal mengaku lebih bisa memahami jika sebuah kota memerlukan penentuan tanggal lahir sebagai penanda. Menurutnya, penentuan tanggal lahir suatu kota lebih banyak dialkukan dalam pendekatan politis ketimbang sejarah. "Sebut saja tanggal tertentu disepakati sebagai hari lahir Jakarta, untuk menentukan identitas. Ini urusan politik bukan urusan sejarah," tegasnya. A. Heuken,SJ juga menyampaikan pendapat bahwa penetapan tanggal lahir suatu kota memang biasa dibuat, tetapi orang harus mulai memisahkan latar belakang sejarah dan mitos. "Sejarah itu perlu bukti nyata yang jelas, bukan mitos yang tidak diketahui kebenarannya. Apakah penyerbuan pasukan Fatahillah adalah awal lahir kota Jakarta? Perlu ada pembuktian," katanya. Berbicara tentang sejarah memang menurut Rizal, penokohan Fatahillah sangat tidak tepat untuk Jakarta, karena sosok itu juga masih gelap. Banyak orang menafsirkan Fatahilah adalah orang yang sama dengan Sunan Gunung Jati, salah seorang wali dari sembilan wali penyebar agama Islam di Indonesia. "Ini jelas salah karena mereka dua orang yang benar-benar berbeda," tegasnya. Mengenai masa depan Jakarta, Rizal, pemuda aseli Betawi yang lahir di kawasan Rawa Belong, mengingatkan agar sebaiknya identitas kota Jakarta kembali dihidupkan dalam keseharian. "Hanya Bang Ali Sadikin (gubernur) yang mampu memahami dan menghidupkan ikon-ikon Betawi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, pemimpin yang sekarang tidak bisa, oleh karena itu sungguh tepat apa yang ditulis oleh Marco Kusumawijaya yang menyebut `Jakarta Tunggang Langgang` karena memang kota ini tidak tahu juntrungannya." tegas Rizal. Bang Ali menurut Rizal mampu menghadirkan ikon Ondel-ondel dan Kembang Kelapa lengkap dengan filosofinya, untuk kehidupan warga kota Jakarta. Kembang Kelapa menurutnya adalah lambang kemakmuran, dengan memasang ikon tersebut, orang Jakarta dipacu untuk mengingat dan mengupayakan tujuan hidup menjadi lebih sejahtera dan makmur. Sementara itu ondel-ondel adalah lambang penolak bala dan keburukan. "Seharusnya, ketika melihat ondel-ondel warga Jakarta menjadi sadar untuk menjauhi kejahatan, keburukan misalnya korupsi, tidak berdisiplin dan hal negatif lainnya," tegasnya. Banyak ragam Jakarta, banyak bukti sejarah yang bisa diungkap dan didokumentasikan, karena Jakarta juga menyimpan banyak cerita. Setidaknya itulah yang diyakini oleh Alwi Shawab budayawan Betawi yang mengaku sudah menulis lebih dari 800 artikel tentang Betawi dan menerbitkan sejumlah buku. "Pokoknya tidak akan ada habisnya, tetapi untuk mendapatkan informasinya tidak gampang, harus mau menelusuri sendiri ke narasumber pertama, dan itu masih saya lakukan," kata Alwi pensiunan wartawn dari LKBN ANTARA yang kemudian melanjutkan karir jurnalistiknya di harian Republika itu.(*)

Pewarta: Oleh Maria D. Andriana
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008