Markas Besar PBB, New York, (ANTARA News) - Kendati terus didekati oleh sejumlah negara, Indonesia masih belum menunjukkan keinginan untuk bergabung dengan Proliferation Security Initiative (PSI). PSI adalah inisiatif global yang dipimpin Amerika Serikat dan jalinan kerjasama di antara puluhan negara untuk mencegat kapal-kapal yang mengangkut senjata pemusnah massal. Indonesia melihat sejumlah ketentuan PSI justru bertentangan dengan berbagai aspek hukum internasional, karena itu Indonesia tidak bisa bergabung dengan PSI, demikian ditegaskan Direktur Perjanjian Internasional-Deplu RI Arif Havas Oegroseno, Rabu, di sela-sela sidang ke-9 United Nations Open-ended Informal Consultative Process on Oceans and the Law of the Sea (UNICPOLOS) yang berlangsung pada 23-27 Juni di Markas Besar PBB, New York. "Memang ada pendekatan dari berbagai negara yang meminta kita supaya bergabung dengan PSI. Tapi kita tidak bisa," kata Havas. Ia mengatakan, Indonesia masih sulit menerima PSI karena inisiatif global tersebut menyangkut berbagai aspek hukum internasional yang masing-masing punya aturan tersendiri, yaitu terkait dengan isu perlucutan senjata, hukum laut, hukum udara dan hukum transportasi darat. Khusus terkait dengan hukum laut, ia mengutarakan pandangan Indonesia yang menganggap bahwa PSI akan mempersulit Indonesia dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban hukum internasional. Ia mencontohkan, pasal 23 Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982 mengatur bahwa kapal nuklir dan kapal bermuatan barang nuklir diperbolehkan melakukan pelayaran. "Jadi, kapal dengan membawa barang nuklir itu dengan sendirinya tidak bertentangan dengan aturan. Itu diperbolehkan oleh konvensi," ujarnya. Ia juga mengingatkan bahwa kapal-kapal bisa berlayar melintasi wilayah Indonesia dengan menggunakan tiga pilihan, yaitu hak lintas damai, hak lintas transit, dan hak lintas alur laut kepulauan. Tentang hal lintas damai, misalnya, Direktur Perjanjian Internasional-Deplu RI itu mengingatkan bahwa UNCLOS menyebut 12 kegiatan ilegal yang tidak boleh dijalankan pada saat kapal melakukan pelayaran. "Dari 12 kegiatan itu, tidak ada satupun yang mengatur mengenai membawa barang nuklir sebagai salah satu kegiatan ilegal. Sehingga kalau kita menghentikan kapal dengan alasan mereka membawa barang nuklir, kita justru melanggar UNCLOS," kata Havas. "Jadi sejumlah ketentuan PSI bagi kita melanggar ketentuan hukum laut," tambahnya. Ketika ditanya apakah sudah tidak ada kemungkinan sama sekali bagi Indonesia untuk bergabung dengan PSI, Havas mengatakan hal itu tergantung dari perkembangan --apakah ketentuan PSI akan diubah atau tidak. "Selama PSI masih punya masalah dengan hukum internasional, ya sulit bagi Indonesia menjadi bagian dari PSI. Kecuali kalau PSI sudah direvisi sedemikian rupa hingga memenuhi persyaratan-persyaratan hukum internasional yang ada, ya itu tidak apa-apa," katanya. Pada salah satu sidang UNICPOLOS di Markas Besar PBB --yang berlangsung sejak Senin (23/6), Indonesia yang diwakili Arif Havas Oegroseno memberikan pemaparan tentang pengalaman Indonesia menghadapi ancaman keamanan maritim di Selat Malaka dan Selat Singapura. Dalam kesempatan tanya jawab dengan peserta sidang, Havas antara lain mendapatkan pertanyaan seputar posisi Indonesia terhadap kerjasama dengan Proliferation Security Initiative. Sementara itu, tentang upaya menangani ancaman maritim di Selat Malaka dan Singapura, Havas mengungkapkan bahwa banyak negara yang memberikan apresiasi tinggi kepada Indonesia dan negara-negara pantai di sekitarnya --yaitu Malaysia dan Singapura-- dalam menangani ancaman. Bahkan International Maritime Bureau, organisasi internasional yang pada masa lalu kerap mengkritik Indonesia, dalam kesempatan sidang ke-9 UNICPOLOS juga memberikan apresiasi positif kepada Indonesia dan negara-negara di sekitar Selat Malaka dan Selat Singapura. "Mereka juga mengharapkan langkah-langkah yang dilakukan negara pantai di Selat Malaka juga bisa diikuti alias dijadikan model oleh negara-negara lain," kata Havas. (*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008