Jakarta (ANTARA News) - Indonesian Corruption Watch (ICW) menginginkan agar konsep tunjangan khusus terhadap hakim dan pegawai pengadilan seharusnya berbentuk progresif atau lebih besar persentasenya di tingkat bawah. "Kami mendesak agar pemerintah menerapkan konsep tunjangan progresif, yakni persentase tertinggi kenaikan tunjangan harus dimulai dari bawah kemudian terus berkurang ke atas," kata anggota Badan Pekerja Indonesian Corruption Watch (ICW), Emerson Junto, kepada wartawan di Jakarta, Kamis. Namun, ujar Emerson, pihaknya mendapatkan data dan informasi bahwa jumlah tunjangan khusus yang dibagikan adalah sebaliknya di mana yang akan memperoleh tunjangan tertinggi adalah Ketua Mahkamah Agung. Selain itu, lanjutnya, juga harus diperhitungkan pula perbedaan berbagai faktor antardaerah di tanah air. "Pemerintah harus melakukan perhitungan yang realistis kebutuhan hakim dan pegawai yang berbeda di masing-masing daerah," katanya. Saat ini, ujar Emerson, perhitungan tunjangan untuk hakim dan pegawai peradilan masih relatif disamakan antardaerah padahal kondisi setiap wilayah adalah berbeda satu sama lain. Menurut dia, sejumlah hakim dan pegawai peradilan membutuhkan perhatian khusus antara lain mereka yang bertugas di Papua, Kalimantan, dan daerah pelosok Sumatera. Sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk menerbitkan Perpres 19 Tahun 2008 tentang Tunjangan Khusus Kinerja Hakim dan Pegawai Peradilan. Salah satu poin pertimbangan dari Perpres itu disebutkan, dalam kerangka reformasi birokrasi perlu diatur pemberian tunjangan khusus untuk meningkatkan kinerja hakim dan pegawai pengadilan yang akan dicairkan pada 1 Juli 2008 yang rencananya akan diberlakukan surut (retroaktif) selama enam bulan. Pemberlakuan surut tunjangan selama enam bulan ini, kata Wakil Ketua Badan Pekerja ICW, Danang Widoyoko, dapat dikategorikan sebagai kebijakan koruptif. Berdasarkan perhitungan ICW, sekitar Rp375,86 miliar diindikasikan dapat merugikan keuangan negara dan dinilai bertentangan setidaknya dengan dua Undang-Undang yakni UU No.10 Tahun 2004 dan UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008