Surabaya (ANTARA News) - Pakar ketatanegaraan dari Jerman Pipiet R Kartawidjaja mengusulkan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg) disatukan atau dilaksanakan bersamaan. "Dengan cara itu, presiden terpilih akan berasal dari parpol pemenang, sehingga tidak seperti Presiden Yudhoyono yang bukan dari parpol pemenang," katanya di Surabaya, Jumat. Dalam seminar "Politik Pemilu dan Peran Media" yang digelar LKM-Media Watch dan Henk-Publica itu, pengamat politik kelahiran Surabaya itu menilai sumber masalah di Indonesia adalah hubungan presiden dan DPR yang sering berbeda pandangan. "Kalau sistem ketatanegaraan di Indonesia masih seperti sekarang, maka siapa pun presiden-nya tetap nggak akan ada perubahan, karena demokrasi yang ada hanya bersifat prosedural," katanya dalam seminar yang dipandu Direktur Henk-Publica, Sirikit Syah. Menurut dia, demokrasi prosedural itu tidak ada artinya, karena demokrasi hanya bagus dalam proses pemilihan pemimpin, tapi hasilnya dalam bentuk kesejahteraan untuk rakyat tidak terwujud. "Demokrasi prosedural akan bermasalah terus, karena presiden yang dipilih rakyat akan tetap dihambat DPR dalam kebijakannya, bahkan memilih gubernur BI saja harus patuh pada DPR," kata pegawai publik di Berlin itu. Senada dengan itu, Direktur Indobarometer Jakarta M Qodari selaku pembicara lainnya menilai sistem ketatanegaraan di Indonesia memang perlu diamandemen. "Amandemen itu harus dilaksanakan pada amandemen UUD 1945 ke-5 pada 2010, karena itu saya berharap pakar ketatanegaraan seperti pak Pipiet harus terlibat," katanya. Namun, kata pimpinan lembaga survei itu, usulan untuk penyatuan pilpres dan pileg akan terhambat dengan masa jabatan presiden, gubernur, dan bupati/walikota. "Saya berpendapat sistem ketatanegaraan harus dibenahi dan sistem kepartaian juga perlu disederhanakan, misalnya dengan parlimentary treshold, daerah pemilihan diperkecil, kontrak politik presiden-wapres, dan sebagainya," katanya. Mantan aktivis Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan Syaiful Mujani itu mengatakan media massa juga harus mengkampanyekan program dari calon presiden, gubernur, bupati, dan calon walikota. "Dengan mengulas program para calon, maka demokrasi substansial akan semakin berkualitas, karena masyarakat akan memilih calon pemimpin yang terbaik dari pemilu ke pemilu," katanya. Sementara itu, pakar komunikasi Dr Henry Subiakto selaku pembicara lain dalam seminar itu menegaskan bahwa media pengenalan calon yang paling potensial untuk konteks Indonesia adalah televisi. "Pemirsa TV saat ini mencapai 35 juta, sedangkan koran hanya enam juta, majalah dan koran mingguan delapan juta, dan internet 17,5 juta. Jadi, televisi cukup potensial," katanya. Namun, katanya, hal itu akan berbalik "membunuh" bila calon incumbent yang menarik di televisi tapi dalam pemerintahannya sangat mengecewakan. "Rakyat juga melihat kinerja mereka dalam mensejahterakannya," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008