Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum PP Muhamadiyah, Din Syamsuddin, menyatakan, sikap-sikap sentralisme ekstrim sangat berbahaya dan dapat mendorong terjadinya separatisme. Ia mengatakan itu, ketika sebagai tokoh nasional asal Kawasan Timur Indonesia (KTI) didaulat berbicara pada temu wicara bertajuk "KTI Bingkai NKRI" yang diselenggarakan oleh Solidaritas Kebangkitan Ekonomi (Tata) KTI, di `Mercentile Room`, `World Trade Centre`, Jakarta, Sabtu siang hingga malam hari. Hadir di kompleks kegiatan itu, antara lain tokoh-tokoh senior sekaliber Frans Seda (mantan Menteri Keuangan, asal Nusa Tenggara Timur), Prof Amiruddin (mantan Gubernur Sulawesi Selatan dan Rektor Unhas), Ventje Sumual dari Sulawesi Utara (mantan Panglima Teritorium VII Wirabuana dan Tokoh Permesta), Laode Ida (Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah, asal Sulawesi Tenggara), serta Letjen TNI Pur Suadi Marasebessy (tokoh Maluku). Din Syamsuddin lanjut menegaskan, perjuangan untuk daerah, jangan dianggap sebagai separatis, tetapi demi menegakkan keseimbangan antar wilayah dalam kerangka NKRI yang maju bersama. "Jadi, perjuangan untuk daerah tersebut harus dilihat sebagai panggilan hati nurani. Berjuang untuk kepentingan daerah dapat mengukuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan sebaliknya saya harus tegaskan sekali lagi, bahwa sikap-sikap sentralisme ekstrim lah yang berbahaya dan dapat mendorong terjadinya separatisme," tandas tokoh dari Nusa Tenggara Barat (NTB) ini. Karena itu, ia meyakinkan peserta diskusi, keterlibatan dirinya dalam Tata KTI karena panggilan hati nurani sebagai orang yang lahir dari daerah KTI. "Dan memang, kerja-kerja dari kelompok kerja (Pokja) Tata KTI harus melibatkan rakyat KTI. Sedangkan ke depan, agenda penting yang harus dilakukan, adalah, sosialisasi yang cepat kepada seluruh rakyat di KTI," ujarnya dalam diskusi yang dihadiri lebih 100 peserta dari berbagai kalangan. Ia juga mengemukakan tentang pentingnya keterlibatan agama-agama dalam penguatan isu-isu regional dan daerah, agar lebih efektif. "Khusus mengenai kerja-kerja Pokja Tata KTI, harus belajar dari pengalaman dari kerja-kerja seperti ini yang pernah dilakukan sebelumnya seperti Organisasi Irian Maluku Sulawesi Kalimantan (Iramasuka) - yang dulu digerakkan oleh Dr Arnold Baramuli untuk kalangan senior dan di lingkup anak muda digerakkan Jeffrey Rawis dkk. Jangan bersifat temporer, harus berkelanjutan," pinta Din Syamsuddin. Klarifikasi Sejarah Permesta Merespons pandangan Din Syamsuddin, tokoh senior asal Sulawesi Utara, Ventje Sumual merasa perlu mengklarifikasi sejarah yang menyatakan, Perjuangan Rakyat Semesta atau populer dengan singkatan Permesta merupakan pemberontakan separatisme bersenjata dan memiliki kaitan dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). "Saya perlu tegaskan di sini, di hadapan forum terhormat ini, bahwa Permesta tidak memiliki kaitan dengan PRRI. Tetapi Permesta merupakan perjuangan pembangunan kawasan Timur Nusantara yang abadi untuk kesejahteraan rakyat di Indonesia Timur," ujar tokoh yang dikenal dengan almarhum mantan Presiden Soeharto di era 1950-an hingga 1960-an, mengenai Penandatangan Piagam Permesta di tahun 1957 di Makassar tersebut. Ia kemudian meminta semua elit dan eksponen bangsa, agar fokus kepada kemajuan bangsa di segala bidang, tanpa harus saling menuding dan menyalahkan. "Semua harus kembali kepada komitmen dasar sebagai satu bangsa, dan tidak ada yang merasa dianaktirikan atau kelompok utama," tegasnya. Solusi Atasi Krisis Ventje Sumual yang seusia Pak Harto tetapi masih tampil `gagah` dan cukup vokal dalam melontarkan gagasan serta pendapatnya, lalu mengajukan solusi sederhana untuk bangsa ini keluar dari krisis energi, lingkungan dan pengangguran. "Salah satu yang paling sederhana dan bisa kita laksanakan di seluruh Indonesia, ialah, menanam pohon aren. Ini sekaligus akan memberi solusi kepada masalah krisis energi, lingkungan dan pengangguran itu. Sebab, hasilnya bisa dijadikan etanol dan dikonversi menjadi energi. Ini pun bisa membantu me-`recovery` lingkungan yang makin rusak, dan usaha tersebut membuka lapangan kerja sangat luas," ujarnya. Merespons hal itu, Sekretaris Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (PPDT), Lucky Korah, mengungkapkan, problematika saat ini memang mengarah pada bagaimana mempercepat pengembangan berbagai wilayah yang tertinggal. "Dan bila kita menggunakan rata-rata nasional, sekitar 62 persen daerah tertinggal ada di KTI," ungkapnya. Karena itu, Lucky Korah menyatakan, sangat mendesak untuk dibangun atau memaksimalisasi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di KTI, dengan beberapa prioritas ekonomi unggulan. Menjawab hal tersebut, salah satu pemrakarsa Tata KTI, Zainal Bintang, jurnalis senior dan politisi dari Sulawesi Selatan, mengungkapkan, perlu ada perombakan orientasi pembangunan secara signifikan. "Jika selama ini orientasi pembangunan nasional kita mendasarkan kepada `cost and benefit ratio`, maka KTI akan terus tertinggal, ketinggalan dan ini berbahaya kepada keutuhan serta kesinambungan NKRI ke depan. Makanya, perlu ada perubahan orientasi ke paradigma pendekatan wilayah. Dan KTI merupakan wilayah yang sangat luas, dengan potensi energi, pangan, lingkungan strategis di pusat geostrategi global masa kini, yakni Pasifik. Inilah yang harus mendapat perhatian serius," tandasnya. Para pembicara yang sepakat dengan pendapat tersebut antara lain Hatta Taliwang (Nusa Tenggara Barat), dua tokoh intelektual Sulawesi Selatan, yakni Iskandar Andi Nuhung (Staf Ahli Menteri Pertanian) dan HER Maklin (mantan Sekretaris Menteri Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia-PPKTI), serta Ray Sahetapi (Sulawesi Tengah). Ray Sahetapi kemudian menyorot kritis soal pengembangan KTI dalam konteks Nusantara berbasis budaya keseimbangan yang dinilianya masih amat kurang disentuh. Diskusi ini, menurut para pemrakarsanya, di antaranya Laode Ida, Zainal Bintang, Manuel Kaisiepo (mantan Menteri PPKTI), Boy Sompotan dan Freddy Roeore, segera memasuki tahapan pematangan gerakan aksi serta agenda sosialisasi.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008