Jakarta (ANTARA News) - Harga minyak mentah dunia terus merangkak naik, dari 50 dolar per barel pada Januari 2007 pada Agustus tahun yang sama naik ke 75 dolar, dan kemudian mencapai puncaknya pada pertengahan 2008 saat menembus 140 dolar AS, rekor tertinggi dalam sejarah minyak dunia. Baik negara maju maupun dunia ketiga terperangah dengan begitu lajunya harga minyak tanpa suatu negara atau organisasi yang mampu menahannya, tak terkecuali OPEC (Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak) yang menguasai pangsa 40 persen produksi minyak dunia. Arab Saudi, negara produsen minyak terbesar di dunia, juga Kuwait, berusaha menambah pasokan minyaknya di pasaran pada Juni 2008, namun hasilnya tak mempengaruhi secara signifikan gerak naik harga "emas hitam" itu. Pasokan minyak mentah sudah melimpah, demikian menurut ulasan Wall Street Journal (27/5), "Para pedagang minyak di pasar fisik mengatakan pasar `menderita` akibat suplai yang telalu banyak, bukan terlalu sedikit." Iran, sebagai contoh, kini harus menumpuk stok 25 juta barel minyak mentahnya, sebagaimana dikutip dari pernyataan Gubenur Perminyakan Iran Hossein Kazempour Ardebili, karena tidak adanya pembeli sebagai akibat pasar yang sudah dipenuhi pasokan minyak lebih dari cukup. Mike Witnner, Kepala Riset Sektor Perminyakan dari Societe Generale di London sependapat. "Ada banyak indikator di luar sana saat ini bahwa pasar sesungguhnya sudah cukup terpenuhi minyak." Beberapa analis dan menteri perminyakan kemudian mencoba mendiagnosa faktor penyebabnya ke hal lain. Ada sejumlah alasan yang disebut mempengaruhi hal itu, seperti mata uang dolar AS yang terus melemah, konsumsi minyak dunia yang meningkat, faktor politik seperti ancaman serangan Barat yang ditujukan ke Iran, kasus Nigeria dan lainnya. Namun faktor-faktor itu ternyata itu hanya "bumbu", bukan yang pokok, terbukti harga "emas hitam" terus menanjak. Bahkan, pernyataan OPEC bahwa produksi minyak masih mencukupi untuk beberapa dasawarsa ke depan pun tak digubris para pasar berjangka yang terus memburu kontrak komoditas minyak itu. Spekulan Setelah setahun lebih harga minyak melaju naik tak terhentikan, akhirnya diadakan pertemuan puncak negara produsen dan konsumen minyak dunia, yang diikuti 36 negara, pada Minggu (22/6) di Jeddah. Raja Arab Saudi Abdullah yang memfasilitasi pertemuan itu mengungkapkan hasil pertemuan yang sebenarnya belum tuntas itu. Menurut dia, ada beberapa faktor yang mendorong harga minyak naik, seperti meningkatnya konsumsi minyak dan pajak minyak, serta aksi para spekulan di pasar komoditas berjangka. "Ini (kenaikan harga minyak) juga ulah para spekulan," katanya. Tudingan ke para spekulan minyak itu menjadi puncak "kepusingan" dunia atas melambungnya harga minyak tanpa bisa dihentikan. Sebelumnya, saat pertemuan negara industri kelompok delapan (G-8) di Jepang pada 14 Juni, negara-negara industri juga mencurigai spekulan. Kelompok itu bahkan meminta kepada Dana Moneter Internasional (IMF) dan Badan Energi Internasional (IEA) untuk menyelidiki faktor kenaikan itu termasuk ulah spekulan minyak, yang tak lain para pedagang di pasar komoditas berjangka, seperti New York Mercantile Exchange (NYMEX). George Soros, miliarder dan manajer "hedge fund" (lindung nilai) kelas utama dunia, dalam Financial Times (3/6), meyakini bahwa berlipatnya harga minyak dunia saat ini tak terlepas dari permainan spekulasi di pasar berjangka oleh pelaku pasar institusi, seperti dana pensiun, yang bertransaksi dalam produk indeks harga minyak. Perusahaan Riset Ennis Knupp and Associates mengungkapkan sekitar 139 miliar dolar AS (sekitar Rp1.278,8 triliun) telah masuk di transaksi komoditas energi, utamanya minyak mentah, pada akhir Maret 2008, dan memperkirakan lebih dari separuhnya dari dana pensiun. Pelaku pasar lainnya adalah bank investasi, reksadana dan "hedge fund" swasta. Mengapa berbagai manajemen investasi dana itu menyukai pasar kontrak komoditas? Jawabannya karena imbal hasil yang lebih besar dibandingkan di investasi lain. Di transaksi komoditas berjangka yang tercermin dalam indeks komoditas energi GSCI Standard & Poor`s naik di atas 19 persen setiap tahunnya dalam lima tahun terakhir, lebih menarik dibandingkan indeks saham Standard & Poor`s 500 yang hanya sekitar 9 persen. Dengan kenaikan itu, dana besar yang dikelolanya mengalami "penyusutan" akibat terhindar dari ancaman inflasi yang terus naik, serta melemahnya dolar AS dalam setahun terakhir ini. Dengan demikian, para pelaku pasar yang bertujuan untuk menyelamatkan dana yang dikelolanya telah bertindak rasional. Hanya saja, dengan harga minyak saat ini yang sudah terlampau tinggi, tindakan mereka terasa lebih "berbau" spekulasi di pasar non fisik itu, dibandingkan realitanya di pasar fisik. George Soros mengatakan, kondisi itu memberikan konsekuensi yang sangat serius terhadap perekonomian dunia dan secara khusus pasar saham global, jika investor institusi tiba-tiba "berjudi" terhadap adanya penurunan harga minyak. Ia membandingkan pola yang mirip saat anjloknya (crash) pasar modal tahun 1987, yang disebabkan arus dana besar-besaran yang tiba-tiba menuju portofolio asuransi, yang digunakan investor institusi untuk melindungi diri dari jatuhnya harga saham. "Dari kedua kasus ini, investor institusi menumpuk di satu sisi pasar dan keberadaan mereka telah membuat ketidakseimbangan. Jika tren itu berbalik dan investor institusi sebagai kelompok secara bersamaan keluar seperti yang mereka lakukan di tahun 1987, akan terjadi `crash` di pasar modal global," kata Soros di depan Komite Perdagangan Senat AS. Pada sisi lain, berbagai sektor juga terkena dampak buruknya, seperti penerbangan. Maksapai penerbangan AS diperkitakan rugi 10 miliar dolar AS akibat harga minyak yang meroket itu, kata kelompok industri penerbangan AS, Air Transport Association. Oleh karena itu seruan agar perdagangan komoditas berjangka harus dibenahi menjadi sangat relevan untuk membersihkan "spekulasi" dan terciptanya harga riil cerminan pasar fisik. Komisi pengawasan perdagangan berjangka komoditas (Commodity Futures Trading Commission/CFTC ) di Amerika Serikat, yang pasarnya menjadi rujukan utama dunia, mengambil langkah awal dengan membatasi perdagangan kontrak minyak intermediasi West Texas atas ICE Futures Europe, yang menguasai 30 persen dari total perdagangan, untuk pengiriman Oktober. Kerjasama antar otoritas pasar berjangka terkemuka dunia semakin dieratkan, seperti otoritas pasar berjangka Eropa yang akan berbagi data dengan mitranya di AS untuk memperbaiki transparansi dan mencegah adanya manipulasi pasar. "Dengan demikian akan menekan tindak spekulasi dan mencegah gerak naik harga minyak," kata Ketua (sementara) CFTC Walter Lukken. (*)

Oleh Oleh Zaenal Abidin
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008