Oleh Azhari Banda Aceh (ANTARA News) - Raut wajah Ramlah (43) tampak tenang, walau mengaku dirinya belum bisa melupakan peristiwa ketika dia menaklukkan harimau yang sedang menerkam suaminya. Tragedi pada hari kedua di bulan Juli itu membuktikan kesetiaan perempuan Desa Sibadeh, Kecamatan Bakongan Timur, Kabupaten Aceh Selatan, itu kepada suaminya M Jakfar (52). Berkat keberanian perempuan itu, sang suami yang sedang sekarat mempertahankan diri dari cengkeraman harimau sumatera (Panthera trigris sumatrae), selamat walau harus dirawat di rumah sakit. Ketika itu, tidak ada orang yang menyadari bahwa raja hutan yang aumannya terdengar oleh mereka menerkam Jakfar, dan dua makhluk itu bergelut di semak-semak. Kejadian itu setidaknya berjarak 30 meter dari tempat Ramlah yang sibuk membersihkan ilalang di kebun mereka. "Tiba-tiba saya melihat harimau itu sedang bergumul dengan suami saya. Ketika itu hanya satu yang terbetik dalam diri, yakni menyelamatkan suami," kata Ramlah yang ditemui ketika sedang menemani suaminya di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin, Kota Banda Aceh. Ia menimpali, "Tanpa pikir panjang, saya mengejar harimau dengan bekal sebilah parang di tangan. Kemudian, parang saya ayunkan sekuat tenaga hingga mengenai batok kepala harimau yang terus mencakar tubuh suami saya." Menurut dia, saat itu tidak ada rasa takut sedikit pun terhadap binatang buas, sehingga tanpa berpikir panjang Ramlah menerjang sang harimau, yang itu telah mengoyak-ngoyak suaminya. "Rasa takut saya sudah hilang. Dalam hati saya hanya ada satu, yakni bagaimana cara menyelamatkan suami dari terkaman harimau," ujar Ramlah. Setelah batok kepalanya terkena tebasan parang, harimau ganas tersebut lari terbirit-birit meninggalkan pasangan suami-isteri itu. Sang harimau menghilang di belantara hutan pinggiran kabupaten penghasil komoditi pala terbesar di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tersebut. Setelah itu, kata Ramlah, air matanya tidak tertahan lagi setelah melihat sekujur tubuh suaminya tercabik-cabik oleh kuku dan gigi harimau. "Dengan sisa tenaga, saya berupaya mengangkat suami untuk bisa keluar dari kebun dan mencari pertolongan," ujarnya. Jarak kebun dengan desa mereka sekitar tiga kilometer. Menurut Ramlah, setidaknya pergumulan antara M Jakfar dan seekor harimau sumatera itu berlangsung beberapa menit. "Saya tidak menyaksikan awal dari peristiwa tersebut. Awalnya, saya hanya mendengar suara gaduh harimau di balik semak-semak di kebun," ujarnya mengisahkan. Masyarakat yang juga sedang berkebun beberapa jauh dari kebun mereka, langsung memberikan pertolongan pertama dan membantu membawa M Jakfar ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Bakongan. Dari puskesmas itu, Jakfar dirujuk ke Rumah Sakit Daerah Yulidin Away di Tapaktuan. Setelah dua hari di rawat di Yulidin Away, M. Jakfar dipindahkan ke rumah sakit umum Zainoel Abidin, Kota Banda Aceh, untuk menjalani bedah plastik pada bagian wajah dan leher yang sobek akibat terkaman harimau. Pemeriksaan awal yang dilakukan tim medis rumah sakit itu menyebutkan, korban menderita patah tulang rahang bawah dan harus dipasangi alat bantu pernapasan dibagian leher, kata dokter spesialis bedah plastik RSU Zainoel Abidin, Dr M. Jailani SpBP. "Bedah plastik ini bukan bedah kecantikan tapi bedah rekonstruksi untuk memperbaiki kembali struktur bagian rahang bawah yang rusak akibat keganasan harimau sumatera tersebut," katanya. Menurut Sekretaris Desa Sibadeh, Julair, kehidupan pasangan M. Jakfar dan Ramlah sangat sederhana. Para tetangga mengenal Ramlah sebagai sosok isteri yang setia dan taat pada aturan agama Islam. "Pasangan Jakfar-Ramlah adalah keluarga yang sangat akur di desa kami. Mereka hidup sederhana dan tercatat juga sebagai petani yang tangguh," katanya. Jakfar menikahi Ramlah, yang menjanda sejak suaminya meninggal dunia sekitar 1990-an. "Pasangan itu hingga kini belum dikarunia anak," kata Julai. Namun, Jakfar memiliki tiga anak dari hasil perkawinan dengan isteri pertamanya. Isteri pertama Jakfar meninggal dunia sebelum pernikahan dengan Ramlah. Julair mengatakan, pasca-insiden pergumulan Jakfar dengan harimau itu, sebagian besar masyarakat desa trauma terhadap kehadiran si raja hutan, dan mereka tidak ada yang berani ke kebun untuk merawat tanaman nilam dan kelapa sawit. "Kami sangat trauma, sebab setelah kejadian itu masih terlihat tapak raja hutan. Kami duga harimau tersebut berkeliaran di sekitar desa," katanya. Desa Sibadeh, sekitar 40 kilometer dari Tapaktuan, ibukota Kabupaten Aceh Selatan, itu sering kedatangan harimau dalam setahun terakhir. "Sebelumnya, harimau itu tidak menganggu masyarakat dan sering menghindar jika berpapasan dengan manusia. Tapi, akhir-akhir ini, harimau tersebut telah mengancam kehidupan kami," kata Julair. Ia mengatakan, kondisi desa dipinggiran hutan itu bertambah mencekam pada malam hari, karenak tidak ada penerangan listrik di jalan-jalan desa. Menurut dia, serangan harimah kepada M Jakfar bukan hanya membuat takut warga yang bermata pencaharian berkebun. Para nelaya di desa itu juga takut untuk keluar rumah sebelum mata hari terbit. Akibatnya, banyak nelayan yang tidak melaut. "Sebagian nelayan tidak berani keluar rumah, takut ancaman harimau di perjalanan menuju pantai," ujar dia. Dalam setahun terakhir, setidaknya 11 warga di sejumlah kecamatan di Aceh Selatan menjadi sasaran keganasan harimau, sembilan warga di antaranya meninggal dunia. "Kami sangat berharap aparat terkait segera mengatasi mengganasnya harimau di wilayah ini, keberadaan satwa itu mengganggu masyarakat," katanya. Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS), T.A.F. Haikal, mengatakan bahwa pihaknya minta instansi terkait untuk segera menangani konflik satwa dengan manusia di seluruh wilayah pantai barat selatan Aceh itu. "Saya berharap pihak berwenang menyelesaikan masalah itu dengan segera menurunkan tim penjinak harimau ke lokasi, karena apabila dibiarkan berlarut-larut dipastikan jumlah korban jiwa akan bertambah," katanya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008