Bandarlampung, (ANTARA News) - Ekspansi usaha pertambakan udang semakin meluas di kawasan pesisir Provinsi Lampung sehingga berdampak membuat kondisi hutan bakau (mangrove) hampir seluruh wilayah provinsi ini semakin rusak parah yang mendekati kemusnahan. Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Lampung, Mukri Friatna, di Bandarlampung, Sabtu, pembukaan pertambakan baru di Lampung terus berlanjut, di antaranya di kawasan pesisir di Bakauheni (Lampung Selatan) maupun di kawasan Padangcermin (Pesawaran) dan wilayah Lampung Barat. "Kita tidak tahu apakah pertambakan itu sudah mendapatkan izin atau tidak. Kalau berizin, alasan yang mendasarinya juga tidak jelas. Pemilik tambak itu juga simpangsiur, karena ada yang mengatakan punya pejabat, ada juga yang katakan punya orang lain," kata dia lagi. Padahal menurut Mukri, setiap kebijakan pembukaan tambak baru dengan mengubah fungsi hutan mangrove itu, akan menimbulkan kerugian sosial yang jauh lebih besar. Dia juga menyebutkan bahwa WALHI Lampung telah berulangkali mendesak Pemda Provinsi (Pemdaprov) dan pemda kabupaten/kota di Lampung untuk konsisten menghentikan pemberian izin pertambakan udang baru, jika keberadaan hutan bakau di provinsi itu hendak diselamatkan, karena lebih dari 70 persen hutan itu sudah rusak parah. "Kalau ada tambak baru yang hendak dibuka, semestinya diumumkan di daerah mana saja dan apa alasannya, agar masyarakat bisa memberikan masukan atas rencana tersebut," kata dia lagi. Ia menyebutkan, salah satu contoh ironi upaya penyelamatan hutan bakau di Lampung adalah pengrusakan hutan mangrove sejak dari kawasan di Panjang, Kota Bandarlampung sampai ke pantai Mutun di kawasan pesisir Teluk Lampung. Saat upaya rehabilitasi hutan bakau tengah dilaksanakan di sejumlah lokasi di pesisir pantai Lampung, justru hutan bakau di tempat itu berubah fungsi. "Kalau kasus seperti itu terus terjadi, jadi kebijakan apa lagi yang bisa dipegang untuk menyelamatkan hutan bakau. Semestinya pemda itu konsisten dan konsekuen dalam menyelamatkan hutan bakau," kata dia. Menurut Mukri, perubahan fungsi hutan bakau menjadi pertambakan ikan dan udang, menjadi penyebab utama kehancuran hutan bakau di pesisir pantai Lampung, seperti di Tanggamus. Tambak udang yang bangkrut justru berpotensi menjadi sarang nyamuk malaria, dan hal seperti itu yang terjadi di kawasan pesisir pantai Lampung yang hutan mangrovenya rusak parah. Dia menyebutkan, pertambakan udang memang dibolehkan, namun setidak-tidaknya berjarak 500 meter dari bibir pantai. Ia juga menyebutkan bahwa tanggungjawab pengusaha tambak atas kerusakan hutan mangrove perlu juga diminta, seperti menyisihkan sebagian hasil tambak untuk merehabilitasi hutan bakau. "Kalau hutan bakau rusak, semua rugi dan biaya sosialnya sangat besar, baik bagi pengusaha, tambkanya bisa kena hantam ombak, dan masyarakat yang bisa terkena penyakit malaria," ujar dia pula. Lebih dari 70 persen hutan bakau di Lampung rusak parah. Seluas 160 ribu hektare hutan bakau itu semula, lebih dari 136 ribu hektare telah rusak parah. Hutan bakau yang tersisa diperkirakan hanya 1.700 ha, namun nasib hutan mangrove yang tersisa itu juga kritis. Total hutan bakau Indonesia tahun 1982 sekitar 4,2 juta ha, namun yang tersisa kini hanya 1,9 juta ha. Ekspansi usaha pertambakan justru meningkat dari 435 ribu ha tahun 2001, menjadi 778 ribu ha pada tahun 2005.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008