Jakarta (ANTARA News) - Direktur Ekskutif Institut Titian Perdamaian Ichsan Malik mengatakan volume insiden kekerasan di seluruh Indonesia sejak Januari hingga April 2008 mengalami peningkatan yang berarti jika dibandingkan dengan kondisi pada 2006. "Kajian kami pada sepanjang tahun 2006 tercatat ada 267 insiden konflik kekerasan, atau setiap 1,5 hari terjadi satu insiden kekerasan," kata Ichsan Malik dalam diskusi publik di kampus Universitas Indonesia, di Jakarta, Selasa. "Lalu sejak Januari hingga April 2008, angka insiden kekerasan juga mencapai 267 dengan kondisi 10 gelaran Pilkada dan 100 Pilkada lainnya menunggu waktu pelaksanaan," katanya mengutip data telusuran Institut Titian Perdamaian. Ia menyebutkan pola insiden kekerasan di Indonesia mulai menunjukkan pergeseran aktor dan pemicu. "Saat ini aktor di belakang insiden kekerasan meluas ke para tokoh pimpinan agama, politikus, dan pemimpin kelompok etnis dengan motif-motif politik, sumber daya alam, dan isu tidak-normal," ujar dia. Menurut Ichsan, tindak kekerasan tidak muncul secara serta-merta dan mendadak tanpa latar belakang dan tumpukan masalah sebelumnya. Harus ada momentum yang membakar rumput nan kering di masyarakat, ujar Ichsan yang terlibat dalam upaya perdamaian di Ambon dan Aceh. Ichsan mengibaratkan keadaan masyarakat Indonesia yang rentan dipicu konflik kekerasan adalah sebagai rumput yang kering dan tandus, siap terbakar oleh percikan api kapan saja. "Kontribusi terbesar atas munculnya kekerasan di Indonesia adalah masalah struktural yang gagal diatasi, seperti korupsi, ketidakbecusan pemerintah daerah dan pusat mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Itu sebabnya dengan hembusan angin yang kencang, rumput kering pun mudah terbakar seketika," kata dia. Selain dari aspek kegagalan perbaikan struktur, Ichsan juga menyoroti faktor kegagalan Polri mendeteksi dan mencegah eskalasi konflik di tataran masyarakat. "Polisi dan negara kita telah gagal mengatasi konflik kekerasan karena konflik macam ini seperti virus yang menyebar tanpa kendali bila segera direduksi eskalasinya," kata Ichsan. Para aktor kekerasan "dipelihara" Hal ini disetujui Ade Erlangga Masdiana, kriminolog UI yang menyatakan para aktor pemantik aksi kekerasan sebenarnya "dipelihara" dan sudah terdata semuanya oleh Polri. "Namun bila tiba waktunya untuk naik jabatan, pimpinan polisi setempat akan menangkapi para aktor ini agar mendapat penghargaan dan kenaikan pangkat," kata Ade Erlangga Masdiana. Praktik seperti ini, masih kata Ade, sudah lazim terjadi sehingga diakui atau tidak, insiden kekerasan justru memberikan dampak yang menguntungkan bagi polisi terkait dengan penilaian untuk naik pangkat. Sementara itu mantan Kapolda NTB Prof Farouk Muhammad mengakui bahwa operasi yang tegas dan kebijakan yang keras terhadap para pelaku tindak pelanggaran hukum seperti pembalakan liar dan perjudian berefek langsung kepada penurunan pendapatan polisi. "Kebijakan yang keras dan tegas mengurangi pendapatan `non-budgeter` polisi rata-rata 15-80 persen," ujarnya. Menurut Farouk, hambatan utama polisi mengatasi insiden kekerasan adalah kendala teknis dan aspek psikologis yang takut salah ambil tindakan. Selain itu rendahnya gaji, minimnya uang bensin untuk operasi, juga membuat polisi kurang bisa optimal menunaikan tugas mereka memberikan rasa aman kepada masyarakat.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008