Kupang, (ANTARA News) - Warga eks Timor Timur di Nusa Tenggara Timur (NTT) menolak hasil Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) yang meminta militer Indonesia, Polri dan pemerintah sipil Indonesia bertanggungjawab atas insiden berdarah pasca jajak pendapat 1999 di wilayah bekas provinsi ke-27 Indonesia itu. Mantan Wakil Panglima Pejuang Integrasi (PPI) Timtim, Eurico Guterres di Kupang, Senin, mengatakan, warga eks Timtim yang memilih menjadi WNI menolak hasil KKP tersebut, karena yang lebih bertanggungjawab atas semua insiden di Timtim adalah PBB, dalam hal ini UNAMET sebagai lembaga penyelenggara jajak pendapat. "Insiden berdarah yang kemudian dilukiskan sebagai pelanggaran HAM berat Timtim itu karena berbagai macam kecurangan yang dilakukan oleh UNAMET dalam pelaksanaan jajak pendapat tersebut," kata Guterres yang baru bebas dari penjara Cipinang atas tuduhan melakukan pelanggaran HAM berat di Timtim pasca jajak pendapat. Dalam dokumen setebal 300 halaman itu, KKP menyebutkan bahwa militer, polisi dan pejabat sipil Indonesia bersalah atas pembunuhan, penyiksaan dan pelanggaran HAM yang terorganisir seusai jajak pendapat warga Timtim yang memilih melepaskan diri dari Republik Indonesia. Komisi yang dibentuk secara bilateral pada 2005 itu juga mengungkap ada tanggungjawab institusional atas pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, dan penangkapan secara ilegal terhadap para pendukung kemerdekaan Timtim. Dalam kaitan dengan itu, KKP merekomendasikan agar Indonesia minta maaf kepada rakyat Timor Leste dan membantu menyembuhkan luka mereka. Eurico Guterres yang juga Ketua DPW Partai Amanat Nasional (PAN) NTT itu dengan tegas menolak rekomendasi tersebut seolah-olah Indonesia adalah bangsa yang tidak bermartabat dan tidak berwibawa sehingga harus meminta maaf kepada rakyat Timor Leste. Ia juga menilai KKP tidak adil dalam menelusuri pelanggaran HAM di Timtim, karena fokusnya hanya pada insiden 1999 pasca jajak pendapat. "KKP juga harus melakukan pemeriksaan secara menyeluruh pembunuhan terhadap sekitar 600 ribu warga Timtim oleh Fretilin pada 1975. Apakah ini bukan pelanggaran HAM berat sehingga KKP hanya memberi fokus pada insiden 1999," katanya dalam nada tanya. (*)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008