Oleh Djunaedi Suswanto Jakarta (ANTARA News) - Untuk sebuah bangsa, kaum muda adalah aset yang tidak ternilai harganya, dan kemajuan sebuah bangsa sangat bergantung kepada kemampuan mereka untuk membuat perubahan berarti. Dipundak para pemuda itu lah harapan-harapan sebuah bangsa dibebankan, demikian pokok argumentasi yang dikedepankan Dr Aziz Syamsudidin dalam bukunya "Kaum Muda Menatap Masa Depan Indonesia". Aziz Syamsuddin, politisi muda dari Partai Golkar, dalam buku setebal 184 halaman itu membangun tesis bahwa kaum muda suatu bangsa merupakan agen yang paling layak mempelopori perubahan. Dalam konteks bangsa Indonesia, tesis Wakil Ketua Komisi III DPR masa bhakti 2004-2009 tersebut didasari pada fakta sejarah bahwa kaum muda selalu menjadi ikon bagi perubahan keadaan. Dia menyebutkan, tesis pemuda sebagai agen perubahan juga mulai menampakkan wujudnya dalam proses politik di Indonesia. Contoh yang paling gres adalah dalam pemilihan kepala daerah di Jawa Barat dan NTB yang memunculkan tokoh muda usia sebagai gubernur pilihan rakyat. Menurut Aziz, hal itu menunjukkan betapa harapan masyarakat terhadap kepemimpinan kaum muda sangatlah tinggi. Buku yang diterbitkan RMBooks pada Juli 2008 itu mendefinisikan pemuda sebagai generasi yang berusia 20 hingga 40 tahun. Namun juga disebutkan bahwa konsep tentang pemuda itu bukanlah sebuah gugus gagasan yang hanya dibatasi oleh persoalan umur, melainkan ada dimensi politisnya pula. Identitas yang melekat pada diri pemuda merupakan hasil pergulatan dari ragam identitas yang memberi warna bagi proses pembentukannya. Karenanya pemuda akan selalu tampil berbeda antara satu generasi dengan generasi lainnya. Aziz Syamsuddin juga melihat bahwa kepemimpinan kaum muda selalu tampil dalam situasi-situasi tertentu ketika momentumnya memang menuntut hadirnya figur mereka. Menurut dia, demikian pula dengan reformasi yang bergulir pascalengsernya rezim Soeharto, menyimpan banyak harapan dan impian. "Akan tetapi, mengingat terjadinya stagnasi pelaksanaan demokrasi dan sistem politik di negri ini pasca-reformasi, maka selayaknyalah perlu dipikirkan mengenai pemimpin muda alternatif..," (hal 85). Pada saat yang sama, penyandang gelar Doktor Hukum Pidana Unpad Bandung itu juga melihat fakta bahwa publik ternyata tidak puas dengan kiprah generasi muda dalam berbagai persoalan bangsa. Tokoh-tokoh muda saat ini dianggap belum cukup kritis menanggapi berbagai masalah negara. Kegalauan masyarakat atas lemahnya gaung tokoh-tokoh muda baik di pentas nasional maupun daerah, dalam pandangan Aziz Syamsuddin, bisa jadi terpicu oleh kurang berhasilnya reformasi dalam melakukan regenerasi kepemimpinan politik di negri ini. "Memang ironis, reformasi yang dimotori oleh kelompok muda tahun 1998 ternyata kurang berhasil melahirkan tokoh-tokoh pemimpin muda yang menonjol. Bahkan, sebagian masyarakat kembali mempertanyakan, kemana tokoh-tokoh muda yang dulu aktif bersuara nyaring menuntut reformasi..." (hal 86). Melengkapi bukunya yang ditulis dalam enam bab itu, Aziz juga menuangkan pengalamannya sebagai politisi muda partai berlambang beringin. Dituturkannya bahwa Partai Golkar sebenarnya memberi kesempatan luas pada kaum muda dan salah satu bukti adalah Aziz menjadi anggota legislatif pada usia 38 tahun. Hal itu tentu menunjukkan bahwa sistem politik dan rekrutmen yang ada di negara ini sebenarnya sudah memberi jalan kepada kaum muda untuk mengaktualisasikan diri. Publik sebenarnya menaruh perhatian besar kepada hadirnya sosok-sosok muda untuk memimpin bangsa ini kedepan. Hal itu jelas terlihat dari hasil satu jajak pendapat Litbang Kompas terhadap 830 responden di 10 kota besar di Indonesia yang menyebutkan mayoritas responden (61,8 persen) atau sebanyak 7 dari 10 responden berpendapat bahwa usia ideal seorang Presiden RI di bawah 50 tahun. Aziz menulis, keyakinan publik cukup besar bahwa tokoh-tokoh muda ini dapat bersaing dengan elite-elite politik yang sudah mapan. Pada usianya, pemuda memang masih memiliki segalanya. Ia memiliki pikiran yang masih segar, fisik yang masih fit dan tenaga yang masih sangat kuat. Sejak awal pula mereka dipersiapkan menjadi kelompok yang alih regenerasi dari kelompok sebelumnya. "... tinggal pemuda itu sendiri yang harus bergerak mengambil kesempatan tersebut, di samping harus membangun kapabilitas yang cukup, baik dalam hal intelektual maupun kecakapan berorganisasi" (hal 88).(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008