Kendari, (ANTARA News) - Hutan Lambusango yang terletak di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra) merupakan surga bagi pengamat burung, karena dari 146 spesies burung, 40 persen adalah endemik khas Sulawesi. Kawasan hutan tersebut memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan mewakili daerah hutan di zona Wallacea pada umumnya, sehingga menjadi daya tarik wisatawan ilmiah, utamanya penggemar maupun pengamat burung, kata Direktur Operation Wallacea Trust, Dr Edi Purwanto di Kendari, Jumat. Berbagai jenis hewan yang ada di dalamnya antara lain, anoa, kus-kus, tarassus, burung enggang/halo/rangkong dan masih banyak lagi hewan lainnya yang ditemukan belum tercatat. Kondisi hutan Lambusango yang masih terawat dengan baik menjadikan daerah tersebut sebagai salah satu bagian dari paru-paru dunia sehingga minat wisatawan asing untuk datang melakukan penelitian setiap tahunnya terus meningkat. Jumlah wisatawan asing yang datang, selain untuk menikmati kondisi alam hutan juga melakukan penelitian, mencapai 300 - 500 orang setiap tahunnya. "Pada bulan Juli, Agustus, September setiap tahunnya, wisatawan asing mulai berdatangan ke Lambusango," ujarnya. Hutan tersebut, selain surga bagi pengamat burung dan tujuan wisata ilmiah, juga sebagai sumber mata air masyarakat di Pulau Buton serta seluruh anak-anak sungai yang terdapat di pulau tersebut, utamanya Buton bagian Selatan berasal dari Hutan Lambusango, tambahnya. Kondisi Hutan Lambusango bagian bawahnya adalah batuan kapur yang tanahnya tipis dan menyulitkan pertumbuhan akar tanaman atau kurang subur, menyebabkan daerah tersebut menjadi sasaran pencurian kayu atau tempat pembukaan lahan pemukiman baru. Hutan yang diapit oleh 53 desa tersebut sewaktu-waktu dapat dimasuki oleh oknum tertentu untuk menebangi pohon-pohon yang ada, sehingga dapat mengancam aneka satwa yang ada di dalamnya serta merusak kelestarian alam. Banyak ancaman yang dapat merusak hutan tersebut seperti program transmigrasi, tambang maupun perambahan hutan sehingga jika hutan tersebut tidak dijaga bersama maka, sumber mata air akan mati dan butuh waktu yang sangat lama untuk mengembalikannya seperti sekarang ini, katanya. Ancaman perambahan hutan terjadi karena kurangnya lahan subur yang dapat dijadikan lahan pertanian maupun perkebunan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari warga akan mengandalkan hasil hutan, tambahnya. Pihaknya menggalang kerjasama, baik dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sultra, pihak kepolisian dan pemerintah daerah untuk terus melakukan sosialisasi ke masyarakat tentang pentingnya menjaga hutan. "Kami berharap hutan ini akan terus bertahan, sehingga sumber mata air tetap ada dan kelangsungan hidup berbagai jenis satwa hutan bisa terus berkembang," ujar Edi.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008