Jakarta (ANTARA News) - Indonesia memiliki kesempatan membuat mobil nasional (Mobnas) dengan memproduksi sendiri mobil yang didukung industri komponen dalam negeri. Sayang, mimpi itu kini terbang semakin tinggi. Sulitkah mimpi itu dijangkau? Jawabannya ya, meski bukan tidak mungkin. Masalahnya, pergantian pemerintahan ke rezim yang menjadi lebih berorientasi pasar membuat mimpi memiliki Mobnas hanya tinggal mimpi. Jajaran kabinet era reformasi melihat Mobnas tidak lagi realistis diwujudkan karena jejaring industri otomotif dunia menjadi semakin sulit ditembus. Dalam hitungan bisnis mereka, membuat Mobnas sendiri dinilai tidak ekonomis, di tengah industri otomotif dunia justru aktif melakukan merger dan akusisi untuk menekan biaya produksi. Di sisi lain, perusahaan raksasa dunia pemegang merek yang sudah sekian lama merajalela di Indonesia juga tidak akan rela lahan garapannya diserobot produk nasional. Karena itu, mereka juga mendatangkan "mobil kota" bermesin kecil yang lebih murah dengan alasan hemat energi ke pasar Indonesia, untuk menangkal kemungkinan munculnya Mobnas yang murah meriah dengan kandungan lokal lebih besar. Sementara itu, masyarakat "hedonis" Indonesia yang lebih suka memelihara gengsi tinggi dengan menggunakan produk impor juga turut menjadi penyebab makin sulitnya bangsa ini lebih mandiri di dunia otomotif. Karena itu, tidak mengherankan jika jalanan di seputar Jakarta dan kota besar lainnya di Indonesia kini sudah seperti etalase mobil produksi perusahaan raksasa otomotif dunia, meski lubang dan gelombang juga semakin banyak ditemui karena minimnya biaya pemeliharaan jalan. Jangan pula menjadi heran jika Alphard seri terbaru, Audi Coupe A5, VW Tiguan, Mercedes-Benz SL 350 convertible, BMW 320i Lifestyle, dan BMWX6 dalam beberapa bulan mendatang akan semakin sering terlihat hilir mudik membawa kelompok masyarakat kelas atas beraktivitas. Membangun mimpi Mimpi Indonesia membangun industri Mobnas marak pada pertengahan 1990, meski sejak era Orde Baru di penghujung 60-an mobil Jepang mulai marak dipasarkan di Indonesia. Kuatnya cengkraman produk Jepang, selain mobil, sempat memunculkan prahara ketika pada 1974 meletus Malari, gerakan mahasiswa yang memprotes penetrasi Jepang yang terlalu kuat dan membuat Indonesia semakin tergantung dari negara itu. Menyadari besarnya pasar otomotif Indonesia dan keuntungan yang selama ini banyak dinikmati produsen Jepang, Eropa, dan Amerika, termasuk Agen Tunggal pemegang Merek (ATPM), membuat pengusaha Indonesia dan Badan Pengembangan dan Pengkajian Teknologi (BPPT) berminat untuk terjun di bidang ini. Apalagi, semua negara produsen menganggap otomotif sebagai usaha strategis. Mimpi membangun Mobnas dimulai ketika pemerintah melalui Inpres No.2/1996 tentang program Mobnas yang menunjuk PT Timor Putra Nusantra (TPN) sebagai pionir yang memproduksi Mobnas. Lewat Keppres No.42/1996, pemerintah membolehkan TPN mengimpor mobnas yang kemudian diberi merek Timor, dalam bentuk jadi atau completely build-up (CBU) dari KIA Korea Selatan (Korsel). TPN diberikan hak istimewa, berupa bebas pajak barang mewah dan bebas bea masuk barang impor. Hak itu diberikan dengan syarat Timor menggunakan kandungan lokal hingga 60 persen dalam tiga tahun sejak Mobnas pertama dibuat. Jika penggunaan kandungan lokal yang ditentukan secara bertahap yakni 20 persen pada tahun pertama dan 60 persen pada tahun ketiga tidak terpenuhi, maka PT TPN harus menanggung beban pajak barang mewah dan bea masuk barang impor. Masalahnya, Timor masuk ke Indonesia dalam bentuk jadi dari Korea. Dan tanpa bea masuk apapun, termasuk biaya pelabuhan dan lainnya. Perlakuan itu memancing protes dari Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat. Jepang, mengadukan Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia dan meminta dibentuk Badan Penyelesaian Sengketa Dagang. Seperti halnya Timor yang membangun pusat produksi di Jabotabek, Bimantara pun menggandeng Hyundai, Korsel dengan nama Cakra. Bimantara pun meminta perlakuan sama dari pemerintah, sesuatu yang tidak pernah mereka dapatkan. Keinginan kedua "pengeran" Cendana itu untuk membangun Mobnas, kemudian diikuti Bakrie yang mencoba menggandeng produsen otomotif Inggris dan sempat menghasilkan prototipe minibus (Multi PurposeVehicle/MPV) Bakrie B97. Sementara, Marimutu Sinivasan melalui kelompok usaha Texmaco Enggnering meluncurkan truk Perkasa yang masih digunakan jajaran militer Indonesia. Sinivasan bahkan mendatangkan mesin induk dari Eropa Timur untuk membuat mesin yang nantinya digunakan untukmemproduksi otomotif. Dia menjanjikan semua kandungan lokal otomotif produksi Texmaco dari Indonesia, kecuali beberapa komponen yang harus diimpor karena produsennya memang hanya beberapa gelintir di dunia. BJ Habibie melalui BPPT yang menguasai beberapa industri strategis nasional juga merancang Mobnas Maleo. Sayang beribu sayang, mimpi membangun Mobnas tercerabut dan terbang melayang jauh di awan ketika prahara krisis ekonomi melanda Indonesia pada pertengahan 1997. Krisis itu tidak saja mengubur mimpi Indonesia makin mandiri di bidang otomotif, tetapi juga membuat pengusaha yang berminat mendirikan industri otomotif tergulung dan terbelit dalam jeratan utang. Terlambat Minimnya dukungan bagi keberadaan Mobnas terlihat ketika pengamat otomotif, Soehari Sargo menyatakan, kini sudah terlambat jika Indonesia ingin mengembangkan Mobil Nasional (Mobnas), seperti yang dilakukan Malaysia dengan Proton. Menurut dia, kesempatan untuk mengembangkan Mobnas ada pada 20 atau 30 tahun lalu saat pasar otomotif masih diatur oleh pemerintah, teknologi tidak terlalu tinggi, sehingga investasi yang ditanamkan untuk mengembangkan Mobnas tidak terlalu besar. Dia mencontohkan Mobnas Malaysia Proton yang memulai debutnya sejak era 1980-an masih dapat berkembang hingga saat ini. Walaupun dengan AFTA, tentu dari segi pemasaran akan sangat sulit bersaing dengan produk dari Jepang, Korea, Eropa, maupun Amerika yang diproduksi di kawasan ASEAN. Karena itu, dia menilai, Indonesia lebih baik memanfaatkan saja kemampuan yang dimiliki saat ini sebagai basis produksi komponen otomotif dunia. Apalagi, semakin banyak produsen otomotif dunia menggunakan komponen "outsourcing", termasuk komponen dari dalam negeri. Namun kecenderungan industri otomotif dunia itu lebih dulu disadari Thailand dengan menjadi basis produksi bagi produsen otomotif dunia, katanya. Indonesia juga memiliki peluang menjadi basis produksi otomotif dunia karena produsen otomotif perlu melakukan ekspansi dan meningkatkan produksi secepatnya mengingat permintaan dunia, khususnya di Asia Pasifik, untuk otomotif sangat besar, katanya. Untuk keperluan itu, mereka berupaya memperkuat kehadiran dan basis produksi di kedua benua tersebut mutlak diperlukan. Sebaliknya, pasar otomotif di Jepang dan Amerika juga beberapa negara Eropa memang sudah stagnan. Sementara untuk menciptakan Mobnas, pengusaha dan pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai hal, mulai dari teknologi, desain, produksi dan pemasaran. Senada dengan Soehari Sargo, Sekretaris Umum Gaikindo, Freddy Sutrisno, Indonesia lebih baik memperkuat industri komponen yang memasok ke seluruh dunia. Biaya untuk menciptakan sebuah mobil tidak sedikit, triliunan rupiah dan belum tentu berhasil dikembangkan, karena kalah bersaing dengan pemasaran otomotif lain yang sudah mempunyai nama, katanya. Menurut dia pengembangan Mobnas membutuhkan waktu bertahun-tahun hanya untuk membangun citra merek, sehingga diminati pasar. Apalagi di pasar dalam negeri sendiri, tegasnya, pengaruh produk Jepang sudah terlanjur kuat. (*)

Pewarta: Oleh Arief Pujianto
Copyright © ANTARA 2008