Mataram (ANTARA) - Di Negeri Hagia yang subur dan kaya raya, hiduplah dua kelompok manusia, berdampingan rukun dan damai. Kedamaian itu terusik ketika di Bumi Hagia hanya tersisa sebatang pohon; Pohon Kehidupan.

Pohon Kehidupan yang seharusnya mereka jaga bersama, justru menjadi sumber perpecahan. Mereka berebut untuk menguasainya. Mereka bertikai, mereka berperang, sampai akhirnya mereka lalai, ada raksasa rakus yang mencuri Pohon Kehidupan mereka.

Untunglah ada Raden Umar Maye --tokoh arif bijaksana dalam pertunjukan wayang Sasak (Nusa Tenggara Barat)-- yang mengingatkan kedua kelompok itu untuk bekerjasama menyelesaikan segala persoalan, termasuk menjaga pohon terakhir di bumi.

Itu merupakan sinopsis dari Teater Wayang Botol dari Sekolah Pedalangan Wayang Sasak besutan Pikong-Latif, yang akan tampil dalam acara Pekan Budaya Nasional di Istora Senayan, Jakarta Pusat, pada 11 Oktober 2019 mendatang.

Ketua Yayasan Pedalangan Wayang Sasak, Abdul Latief Apriaman kepada Antara di Mataram, Senin, menjelaskan Teater Wayang Botol ini dimainkan oleh anak-anak dari Sekolah Pedalangan Wayang Sasak yang bernaung di bawah Yayasan Pedalangan Wayang Sasak.

"Hadirnya Wayang botol bermula dari keprihatinan akan persoalan sampah yang sudah menjadi persoalan lingkungan yang serius di seluruh belahan bumi, tak terkecuali di Indonesia. Rendahnya kesadaran publik untuk bijak mengelola sampah plastik adalah kendala utama yang mesti dipecahkan," katanya.

Wayang Botol Sekolah Pedalangan Wayang Sasak mencoba mengedukasi Masyarakat, terutama anak-anak agar bisa bertanggungjawab atas sampah yang mereka produksi, terutama sampah plastik.

Terbuat dari botol plastik, gelas plastik dan beragam barang bekas, Wayang Botol menawarkan cara menyenangkan untuk kampanye tentang penyelamatan lingkungan.

Baca juga: Suradipa The Journey dan "folksong" Suku Sasak


Menggenggam salju

Anak-anak adalah sasaran utama, karena mereka diharapkan kelak akan tumbuh menjadi manusia-manusia dewasa yang bijaksana, termasuk dalam menyelesaikan persoalan sampah.

Mereka yang terlibat dalam Pertunjukan Teater Wayang Botol; Kisah Penyelamatan Pohon Terakhir di Bumi, pernah bermimpi terbang ke Jakarta Naik pesawat. Mimpi itu telah terwujud, Tahun 2015 silam.

Tiket pesawat ke Jakarta mereka peroleh setelah menjuarai festival Teater Anak di NTB. Perjuangan mereka pun berbuah; mereka terpilih menjadi penampil terbaik pada Festival Teater Anak Nasional 2015, di Jakarta.

"Dan kini mereka bermimpi suatu ketika akan bisa bermain teater Wayang Botol dan berbagi cerita dengan kawan-kawan mereka di berbagai belahan dunia, mereka bermimpi menggenggam salju," katanya.

Yayasan Pedalangan Wayang Sasak berdiri sejak Mei 2015. Yayasan ini lahir dari keprihatinan sejumlah pemerhati dan pegiat seni dan budaya akan keberadaan Wayang Sasak di Lombok yang semakin meredup.

Jumlah dalang dan pertunjukan Wayang Sasak di pulau Lombok semakin berkurang dari hari ke hari. Kondisi ini amat disayangkan mengingat Wayang Sasak adalah sebuah seni tradisi peninggalan leluhur yang bernilai tinggi, katanya.

Wayang Sasak adalah seni tradisi yang berfungsi sebagai media penyuluh, media pemberdayaan bagi masyarakat suku Sasak di Lombok. Semangat utama didirikannya Yayasan Pedalangan Wayang Sasak adalah upaya pelestarian seni pertunjukan Wayang Sasak agar generasi mendatang tidak kehilangan jejak budaya luhur mereka.

Yayasan Pedalangan Wayang Sasak memiliki visi: lestarinya Wayang Sasak sebagai suluh, media penyadaran dan pemberdayaan bagi masyarakat.

Karena itu, kata dia, untuk mencapai visi ini Yayasan Pedalangan Wayang Sasak memilliki misi, menyelenggarakan lembaga pendidikan sekolah pedalangan untuk mendidik dalang-dalang baru yang cerdas berintegritas.

Lalu, mengembangkan bentuk seni pertunjukan Wayang Sasak sejalan dengan perkembangan teknologi komunikasi dan Kebudayaan, serta memaksimalkan fungsi wayang Sasak sebagai media pemberdayaan dan media literasi berbasis budaya.

Baca juga: Melestarikan kearifan lokal "Gumi Sasak"


Seabreg pentas

Seabreg acara telah dilakukan oleh Yayasan Pedalangan Wayang Sasak, antara lain, Pentas Pertunjukan Seni untuk Lingkungan di 10 Lokasi di Pulau Lombok (2015-2016), Pentas Wayang Peradilan Bersih bekerjasama dengan Komisi Yudisial (KY) Penghubung Wilaya NTB (2016), dan Pentas Wayang Cegah Pernikahan Dini bekerjasama dengan Pendampingan Program Generasi Sehat Cerdas (GSC), serta di 5 Desa di Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Utara (tahun 2016-2017)

Peraih Hibah Cipta Seni Perdamaian Yayasan Kelola, Menggelar Kegiatan “Roah Ampenan” Pentas Wayang Perdamaian, di Ampenan, Kota Mataram (2016), dan Pentas Wayang Pendidikan Anti Korupsi, bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB (2016).

Kemudian, membangun Bank Suara, salah satu program Yayasan Pedalangan Wayang Sasak berupa perekaman bahan bacaan berupa buku, cerpen, puisi, dan pesan-pesan inspiratif yang hasilnya (dalam format audio) didedikasikan untuk kelompok penyandang disabilitas terutama penyandang tuna netra pada 2017.

Bank Suara bekerja sama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) NTB, membuat konten kampanye pemilu akses untuk kelompok disabilitas (2017) dan stan Bank Suara dan AJI Mataram menjadi stan terbaik kedua di ajang Festival Media 2017 di Solo.

Kemudian. menggelar pertunjukan dirangkai Gerakan Literasi SiBATUR (Simak Baca Tulis Tutur) ke sejumlah desa korban di Lombok Utara (2018) kerjasama dengan Yayasan Somasi NTB.

Lalu, menggelar Gerakan Literasi SIBATUR Di 3 Desa korban Gempa di Lombok Barat kerja sama dengan Yayasan Gagas Dan Plan Internasional (2019).

Kelompok ini juga pentas Wayang Botol "Beboro Dedoro" di SDN 47 Ampenan dalam rangkaian program peduli lingkungan dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB (2019) dan Pentas Teater Wayang Botol "Kisah Penyelamatan Pohon Terakhir di Bumi" penutupan Asia Pacific Geopark Network (APGN) di Lombok (2019).*

Baca juga: Budaya "ngopi" ala Suku Sasak

Baca juga: Rinjani, gunungnya Suku Sasak

Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019