Jakarta (ANTARA News) - Dewan Teh Indonesia (DTI) berencana menerapkan pola lelang teh berbasis on-line dalam perdagangan di Kantor Pemasaran Bersama PTPN (Jakarta Tea Auction/JTA) untuk mendongkrak harga jual komoditas itu dipasaran internasional. Menurut Ketua DTI, Abdul Halik, di Jakarta, Selasa, selama ini pola lelang teh Indonesia dalam JTA itu masih menggunakan pola konvensional kehadiran fisik calon-calon pembeli dalam tawar menawar harga komoditas tersebut. "Biasanya dalam JTA itu hadir 20-an calon pembeli, tapi yang aktif melakukan pembelian hanya lima atau enam pembeli saja," ujarnya. Dia menyebutkan mereka yang turut serta dalam bursa perdagangan teh Indonesia dan melakukan pembelian tersebut di antaranya adalah Lipton (Inggris), Twiling (Rusia), Fund Rees (Belanda), Orimi (Rusia) dan Sariwangi (Indonesia). Karena itu, ia menambahkan, harga jual teh Indonesia tersebut tidak pernah mengalami peningkatan dari tahun ketahun dan bahkan jauh tertinggal dari harga teh Srilanka. Pada tahun 2007, teh Indonesia rata-rata seharga 1,2 dolar AS/kg dan harga rata-rata dunia 1,95 dolar AS/kg. Sementara Srilanka berhasil menorehkan angka 3,4 dolar AS/kg sehingga perolehan devisa negara itu menembus angka 1 miliar dolar AS atas ekspor tehnya sejumlah 300 ribu ton. Karena itu, menurut Abdul Halik, untuk tata niaga teh ini diperlukan sistem lelang yang lebih transparan dengan penerapan teknologi yang mutakhir untuk memungkinkan terjangkaunya jumlah pembeli aktif yang lebih banyak. "Dengan demikian, nantinya diharapkan harga yang terjadi lebih mencerminkan harga pasar yang sebenarnya," katanya. Pada bagian lain, Halik mengatakan bahwa komoditas teh ini masih belum dianggap sebagai primadona seperti halnya kelapa sawit, kakao, karet ataupun tanaman pangan, sehingga hal itu berdampak pada semakin terpuruknya industri teh Indonesia. Hal tersebut masih diperparah lagi dengan kondisi semakin mahalnya dan langkanya sarana produksi, seperti pupuk, yang membuat produksi daun teh yang dipetik semakin menciut. "Kita sangat berharap pemerintah lebih menyadari peran penting perkebunan teh ini," katanya. Jika perkebunan-perkebunan teh yang umumnya berada di pegunungan itu berhenti beroperasi karena kerugian terus menerus sehingga terjadi alih fungsi lahan, bukan mustahil pula semakin banyak muncul bencana banjir dan longsor saat hujan turun. Itu dikarenakan perkebunan teh di pegunungan juga mempunyai fungsi ekologis sebagai areal tampungan air hujan dan penahan longsor. (*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008