Jakarta (ANTARA News) - Pada usianya yang ke-33 tahun, 26 Juli 2008, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah melewati berbagai suka duka sebagai organisasi tempat para ulama melayani kepentingan umat Islam. Berdirinya MUI pada 17 Rajab 1395 Hijriah atau bertepatan dengan 26 Juli 1975 di Jakarta, dilatarbelakangi pertemuan para ulama, cendekiawan, dan zu`ama (pemimpin) se-Indonesia dari berbagai ormas Islam. Hadir dalam pertemuan itu sebanyak 26 ulama yang mewakili seluruh propinsi yang ada saat itu, 10 ulama dari ormas Islam tingkat pusat; Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al Washliyah, Mathla`ul Anwar, GUPPI, PTDI, Dewan Masjid Indonesia (DMI), dan Al Ittihadiyah. Ada juga empat ulama dari Dinas Rohani Islam Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Polri, serta 13 tokoh cendekiawan yang hadir atas nama pribadi. Pertemuan itu akhirnya memutuskan perlunya sebuah wadah silaturahmi para ulama di seluruh Tanah Air untuk mewujudkan ukhuwah Islamiyah, yang kemudian diberi nama Majelis Ulama Indoensia (MUI). Ketika itu, sejumlah negara di Asia Teggara telah memiliki Dewan atau Majelis Ulama (Mufti) yang juga bertindak sebagai penasehat tertinggi negara di bidang keagamaan. Melihat kondisi seperti itu, para ulama menyadari perlunya Indonesia memiliki sebuah lembaga yang mewakili umat Islam Indonesia jika ada pertemuan ulama tingkat Internasional. Atau, yang mewakili umat Islam Indonesia jika ada tamu dari luar negeri yang ingin bertukar pikiran dengan dengan ulama Indonesia. Momentum berdirinya MUI tersebut juga bertepatan dengan dalam fase kebangkitan kembali Indonesia setelah 30 tahun merdeka. Ketika itu para ulama melihat energi bangsa banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap kesejahteraan rohani umat. Sekretaris Umum MUI periode 2005-2010, HM Ichwan Sam, menuturkan bahwa berdirinya MUI diiringi kontroversi. Sambutan masyarakat terhadap berdirinya lembaga tersebut tidak hangat, apalagi ketika itu hubungan pemerintah dan umat Islam kurang harmonis. Kehadiran MUI saat itu kerap dicurigai sebagai rekayasa pemerintah untuk membatasi peran ormas Islam di tengah masyarakat. "Karena itu, pada tahun-tahun pertama, program kerja MUI adalah melakukan sosialisasi atau memperkenalkan diri kepada masyarakat Indonesia maupun internasioal tentang eksistensi, tugas, dan fugsi MUI," kata Ichwan. Sekitar tahun 1990, katanya, MUI mulai merasakan adanya penerimaan masyarakat dan mayoritas umat Islam terhadap organisasi itu. Meski tidak luput dari kritik, MUI dipercaya sebagai lembaga tempat meminta nasehat dan bersandarnya umat Islam jika mereka menemui berbagai masalah. Sebagaimana dikutip dalam laman resminya, MUI memiliki kepengurusan mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan, dengan struktur organisasi terdiri atas Dewan Penasehat, Dewan Pimpinan Harian, dan Anggota Pleno. Sesuai hasil Musyawarah Nasional (Munas) VII MUI tahun 2005, MUI Pusat terdiri atas 11 Komisi, mulai Komisi Fatwa hingga Komisi Hubungan Luar Negeri. MUI pun memiliki sejumlah lembaga atau badan yang berada dalam pengawasannya, yakni Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, Minuman dan Kosmetika (LP POM), Dewan Syariah Nasional (DSN), Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), Badan Penerbit MUI, dan Yayasan Dana Dakwah Pembangunan (YDDP). Dengan perangkat pendukung yang ada itu, menurut Ichwan, kiprah MUI kian dirasakan umat Islam, meski pun tantangan yang dihadapi juga tidak sedikit. Berbagai imbauan, nasehat, kritik, hingga fatwa dikeluarkan MUI untuk memperbaiki, mengkritisi, dan mencegah hal-hal yang diprediksi akan membawa dampak buruk bagi masyarakat dan umat Islam di Indonesia. Fatwa MUI Sejumlah fatwa yang telah dikeluarkan MUI antara lain fatwa tentang Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, Fatwa tentang Perdukunan dan Peramalan, Fatwa tentang Doa Bersama, Fatwa tentang Perkawinan Beda Agama, Kewarisan Beda Agama, dan Fatwa tentang Hukuman Mati. Terkait polemik aliran Ahmadiyah, MUI pun mengeluarkan Fatwa, yang isinya menegaskan bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam. Meski kemudian fatwa tersebut menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat, fatwa tersebut setidaknya menjadi bahan rujukan agar umat Islam tidak terjerumus pada aliran keagamaan yang menyesatkan. Polemik yang terjadi seputar aliran Ahmadiyah telah berkembang mulai dari sekadar perbedaan pendapat, hujatan, hingga tindakan anarkis. Kejadian terakhir adalah peristiwa bentrokan yang dilakukan sekelompok massa terhadap massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Baragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yagn terjadi di sekitar Tugu Monumen Nasional (Monas) pada 1 Juni 2008. Sebagian pihak bahkan menuding fatwa MUI tentang Ahmadiyah telah menyebabkan masyarakat bertindak anarkis terhadap pengikut Ahmadiyah. Bahkan sejumlah tokoh seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sempat melontarkan pernyataan agar MUI dibubarkan. Polemik itupun akhirnya reda setelah pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Jaksa Agung pada 9 Juni 2008, yang memerintahkan anggota dan pengurus Ahmadiyah meghentikan segala aktifitasnya. Sikap tegas MUI tentang Aliran Ahmadiyah, menurut Ichwan, merupakan salah satu wujud komitmen MUI sebagai lembaga yang diharapkan dapat membimbing dan melayani umat. Hal lain yang pernah dilakukan MUI adalah ketika majalah pria dewasa "Playboy" akan diterbitkan pada April 2005. Beberapa bulan sebelum majalah itu terbit, MUI secara tegas menolak kehadiran majalah berlambang kepala kelinci tersebut. MUI menegaskan, dari segi agama, budaya ketimuran dan citra bangsa, majalah tersebut tidak layak beredar di seluruh penjuru Tanah Air. MUI juga mendorong pemerintah daerah menyusun peraturan daerah bernuansa Islami, seperti perda anti kemaksiatan dan sejenisnya agar masyarakat terhindar dari kehidupan yang tidak baik. "Islam itu `rahmatan lil alamin`, jadi aturan-aturannya akan membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih baik," kata Ketua MUI, KH Ma`ruf Amin, dalam sebuah acara diskusi di Jakarta. Menurut dia, perda bernuansa Islami atau perda syariah itu sama sekali tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pancasila, katanya, merupakan ideologi religius yang dicerminkan pada sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa". Karena itu, lanjutnya, pihak-pihak yang ingin mempertentangkan Pancasila dengan Islam adalah pihak yang ingin menjauhkan Pancasila dari agama. "NKRI dan Pancasila itu kesepakatan bersama dan sudah final. Tidak perlu ada negara Islam," kata KH Ma`ruf Amin. MUI juga mengeluarkan fatwa dan terus mendesak kalangan pemerintah dan DPR RI agar segera mengesahkan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi menjadi UU, mengingat pembahasan RUU tersebut sudah memakan waktu cukup lama. Selain itu, hal lain yang telah dilakukan MUI adalah ikut membantu pemerintah mengembangkan kegiatan perekonomian dan keuangan nasional, termasuk perbankan, berdasarkan prinsip syariah Islam. Kiprah MUI itu dilakukan melalui Dewan Syariah Nasional (DSN) yang telah banyak mengeluarkan fatwa mengenai prinsip-prinsip ekonomi dan keuangan syariah. Meski secara yuridis keberadaan perbankan syariah di Indonesia relatif masih baru, yakni sembilan tahun sejak diberlakukannya UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, perkembangannya semakin pesat. Dengan semakin berkembangnya persoalan umat di tengah era globalisasi saat ini, Sekjen Forum Umat Islam (FUI) Muhammad Al Khaththath mengatakan, peran MUI semakin diperlukan untuk merespon persoalan umat, menjaga kesetiaan, aqidah, serta moral umat. "Kekuatan MUI berada pada kewenangannya mengeluarkan fatwa," katanya. Misalnya, fatwa soal Ahmadiyah, fatwa tentang haramnya mengikuti paham sekularisme, pluralisme dan liberalisasi agama, yang semuanya hal mendasar. "Kalau tidak ada fatwa seperti itu, akan banyak yang hanyut dalam sekularisasi dan liberalisasi, Ahmadiyah itu salah satu bentuknya," katanya. Dengan adanya fatwa-fatwa MUI tersebut, katanya, diharapkan muncul kesadaran umat dan ormas Islam untuk secara berkesinambungan menyosialisasikan dan memperjuangkan fatwa-fatwa itu di masyarakat. Dia mengatakan, larangan pornografi dan pornoaksi muncul dari fatwa MUI dalam rangka menjaga moral umat. Menurut dia, upaya para ulama yang sudah semaksimal mungkin menjaga moral masyarakat dengan menjelaskan haramnya pornografi dan pornoaksi, kini terancam dengan adanya "sindikasi" yang teratur rapih untuk menghancurkan moral bangsa, seperti melalui tayangan televisi yang berbau pornografi dan pornoaksi. "Sekarang sudah tidak cukup lagi ulama bicara. Harus dengan tindakan negara yang bersifat memaksa seperti Undang-Undang, dan aturan hukum," katanya. Untuk selanjutnya, kata dia, perlu didorong agar fatwa MUI diperluas, seperti fatwa menyangkut korupsi, bahan bakar minyak, hingga sumber daya alam yang dikuasai pihak asing. Menurut dia, agar fatwa itu lebih efektif, fatwa-fatwa MUI itu diharapkan diadopsi oleh negara menjadi peraturan perundangan. (*)

Oleh Oleh Arief Mujayatno
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008