Lampung Barat (ANTARA News) - Konflik antara satwa liar dilindungi, khususnya harimau, dengan masyarakat di sekitar hutan di Sumatera selama ini terbilang cukup tinggi, dengan menimbulkan korban manusia maupun harimau itu. Koordinator Konservasi Harimau Wildlife Conservation Society-Indonesia Program (WCS-IP), Hariyo Tabah Wibisono, di Lampung Barat, Rabu siang, menyebutkan, daerah yang paling tinggi konflik harimau dengan manusia adalah Sumatera Barat, disusul Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Selatan, Riau, dan Lampung. "Konflik manusia dengan harimau paling tinggi di Sumatera Barat, karena hutannya kian menyempit akibat makin tergerus aktivitas manusia," kata Hariyo lagi. Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang berkonflik itu, selain di kawasan taman nasional, juga dalam kawasan lindung (register), dan hutan terbatas (HPH/HTI) lainnya. Sejumlah warga di daerah berkonflik dengan harimau itu kedapatan tewas dengan tubuh penuh cakaran dan tercabik-cabik, dan sejumlah harimau yang termasuk satwa jenis langka dan dilindungi di dunia itu mati atau ditangkap dan dibunuh warga di sekitar hutan yang terusik dengan keberadaannya. Karena itu, menurut Hariyo, perlu keseriusan untuk melindungi dan melestarikan harimau itu, dengan melibatkan para pihak termasuk LSM dan masyarakat di dalamnya. Perlindungan kawasan hutan dari aktivitas merusak oleh masyarakat, juga harus dijalankan secara optimal. Masyarakat sekitar hutan juga diingatkan, agar tidak lagi melakukan aktivitas terlarang di dalam hutan, serta sebaiknya melaporkan kepada pihak berwenang kalau mengalami ancaman akibat konflik dengan satwa liar yang membahayakan jiwa mereka itu, tidak bertindak sendiri. "Prinsipnya jiwa manusia harus diselamatkan dan nasib harimau maupun satwa langka dilindungi juga terpelihara," ujar dia lagi. Populasi harimau sumatera di hutan Pulau Sumatera mencapai sekitar 200-300 ekor, dan di hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Lampung memiliki 40-an ekor di antaranya, serta di hutan di Aceh diperkirakan mencapai ratusan ekor.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008