Lampung Barat, (ANTARA News) - Tiga dari lima ekor harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) asal hutan di Aceh telah dipindahkan ke Lampung dan berada dalam kandang Rescue Center Tampang Belimbing Wildlife Nature Conservation (TNWC), di hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Lampung Barat, diberi makan babi dan ayam hidup. Menurut tim dokter Taman Safari Indonesia (TSI) Bogor, Retno Sudarwati DVM, Veterinarian--dokter satwa--yang bertugas merawat kesehatan lima ekor harimau asal Aceh, di Lampung Barat, Rabu (23/7), pemberian makanan disesuaikan dengan kebutuhan harimau tersebut. Tapi selama ini, kelima ekor harimau itu, diatur pola makan secara bergantian dengan menu antara lain ayam dan babi hidup yang diberikan di kandangnya. "Sebelumnya harimau-harimau itu diberi makan setiap hari, tapi setelah berat badan naik berlebihan akhirnya sehari diberi makan dan sehari tidak atau dipuasakan," kata Retno pula. Semula kelima ekor harimau itu juga mengalami dehidrasi (kekurangan cairan dalam tubuh), kurang darah (anemia), dan mengalami kecacingan. Diduga kondisi itu terjadi akibat selama dalam kurungan setelah ditangkap warga dan pawang harimau di Aceh Selatan selama 8-9 bulan, tidak mendapatkan pasokan makan dan minum serta perawatan yang memadai. Namun setelah dirawat dan diberi makan teratur serta diberi pengobatan sebagaimana seharusnya, kelima harimau itu kondisinya berangsung membaik. Dua harimau itu, "Pangeran" (jantan, berusia 5-6 tahun) dan "Agam" (4 tahun, juga jantan) setelah pulih kondisinya diputuskan untuk dilepasliarkan di hutan TNBBS di sana. "Pangeran" merupakan nama pemberian Bupati Lampung Barat Mukhlis Basri, dan "Agam" nama pemberian untuk harimau asal Aceh itu oleh Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban yang memimpin langsung pelepasliaran kedua harimau itu pada Selasa (22/7) pagi, sekitar pkl. 07.20 WIB hingga 07.45 WIB. Tiga harimau tersisa belum dilepasliarkan adalah "Ucok" (berusia sembilan tahun/jantan), "Buyung" (enam tahun/jantan), dan "Panti" (harimau betina, berusia sekitar tiga tahun). Nama ketiga harimau diberikan Menhut MS Kaban. Menurut Retno, sebenarnya "Buyung" kondisinya juga telah pulih dan layak dilepasliarkan. Namun tim penanganan harimau itu dari TSI Bogor, Balai Besar TNBBS, Dephut, dan Artha Graha Peduli, memutuskan untuk menunda pelepasliarannya karena dikhawatirkan terjadi konflik dengan "Pangeran" yang telah dilepasliarkan lebih dulu. Apalagi di sekitar hutan tempat pelepasliaran itu diketahui terdapat pula harimau setempat (residen), sehingga pelepasliaran "Buyung" itu masih dipertimbangkan waktunya yang tepat. "Ucok" dan "Panti" masih harus mendapatkan perawatan kesehatan lebih lanjut. "Panti" menurut Retno, sempat mengalami dehidrasi dan anemia serta terinfeksi cacing. Sebelumnya kelima harimau itu juga mengalami pula gangguan pada ginjal, diduga akibat kurang minum saat berada dalam kandang 8-9 bulan setelah ditangkap warga dan pawang harimau di Aceh Selatan, sebelum dipindahkan ke Lampung. "Anemia dan kecacingan pada harimau itu tidak bisa disepelekan, karena kalau dibiarkan akan mengancam keselamatannya," kata dia pula. Pada mulut "Panti" juga terdapat kelainan pada mulutnya yang terdapat daging tumbuh (mukosa/papiloma). Diduga tumor jinak. "Tapi kepastiannya masih menunggu pemeriksaan kesehatan lebih lanjut," kata Retno pula. Pada "Ucok", salah satu gigi taring bawahnya diketahui berlubang, sehingga masih harus diperiksa dan dirawat oleh dokter gigi untuk memastikan pengobatan dan perawatannya. Guna mengatasi anemia dan kecacingan pada harimau itu, selain diobati sebagaimana mestinya, juga perlu mengatur pola dan menu makannya. Menurut Direktur TSI Bogor, Tony Sumampaw, pemberian makanan kepada harimau itu juga diatur untuk sekaligus dapat menyiapkan diri saat dilepasliarkan, sehingga babi dan ayam diberikan dalam keadaan masih hidup. "Kalau diberikan makanan bukan hewan mangsa yang hidup, dikhawatirkan nanti naluri liar sebagai pemangsa hewan hidup akan terganggu," kata Tony pula. Penanganan selanjutnya juga dengan meminimalkan sekecil mungkin sentuhan dengan manusia di sekitarnya. Pemberian makanan selanjutnya akan menggunakan perangkat alat pemberian makanan lewat tower (menara tinggi) yang dibangun di depan Rescue Center TNWC di TNBBS itu. "Kami akan mengevaluasi lebih lanjut sebelum memutuskan kembali melepasliarkan tiga ekor harimau asal Aceh yang belum dilepasliarkan itu pula," kata Kepala Balai Besar TNBBS, A Kurnia Rauf pula. Pemindahan dan pelepasliaran lima ekor harimau asal Aceh ke Lampung itu, merupakan program perlindungan dan penyelamatan serta pelestarian harimau sumatera yang hanya melibatkan warga Indonesia, menggunakan teknologi canggih untuk memantau (GPS Polar) setelah diliarkan kembali, dan mengikutsertakan dukungan pihak swasta di dalamnya.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008