Jakarta (ANTARA News) - Perwakilan Uni Eropa (UE), Pierre Phillipe, menilai, larangan terbang dari Uni Eropa kepada seluruh maskapai di Indonesia belum bisa dicabut karena hingga saat ini, Indonesia dinilai masih kurang memenuhi standar keselamatan penerbangan (safety) Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civial Aviation Organization/ICAO). "Hasil penelitian kami baik terhadap dokumen maupun presentasi pihak otoritas penerbangan dan perwakilan maskapai Indonesia pada sidang UE 10-11 Juli lalu di Brussel, belum ada cukup bukti Indonesia memenuhi standar safety ICAO," katanya didampingi Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal usai melakukan pertemuan tertutup dengan pihak Indonesia di Jakarta, Kamis. Hadir dalam kesempatan itu, lima perwakilan dari UE antara lain, perwakilan kedutaan Perancis, Jeans-Yves Roux, dan Duta Besar Republik Czech untuk Indonesia, Pavel Rezac, sedangkan pihak Indonesia selain Menteri Perhubungan, Jusman Syafii Djamal dan Dirjen Perhubungan Udara, Dephub, Budhi M. Suyitno. Lebih lanjut, Pierre menjelaskan, sebenarnya Indonesia dalam satu tahun terakhir sudah menunjukkan perkembangan lebih baik dalam hal safety, namun secara umum, UE menilai masih belum cukup memenuhi standar sebagaimana diinginkan oleh ICAO. Indonesia adalah anggota ICAO. "Kelemahan itu terutama pada kemampuan dan kapasitas regulator dalam melakukan pengawasan seluruh maskapai di Indonesia. Sedangkan, maskapainya sendiri, sudah menunjukkan perbaikan, meski belum signifikan," kata Pierre. Pada kesempatan itu, Menhub, Jusman mengakui, Indonesia sebenarnya sudah melakuan perbaikan terhadap 69 temuan audit ICAO yang dilakukan selama tiga tahun sejak 2004-2007. "Total temuan yang sudah ditindaklanjuti adalah 61 persen, sedangkan sisanya, delapan temuan masih belum karena umumnya terkait dengan UU Penerbangan yang sedang direvisi," kata Jusman. Jusman menegaskan, seluruh kemajuan itu telah disampaikan secara terbuka dalam Sidang UE dan tidak hanya oleh regulator, tiga dari empat maskapai yang diajukan dalam program percepatan seperti PT Garuda Indonesia, Mandala Airlines, Airfast sempat juga mempresentasikan kemajuannya. "Mereka saat itu, sangat apresiasi dan terjadi dialog yang kondusif," katanya. Oleh karena itu, kata Jusman, pihaknya secara tidak langsung menilai, ada ketidak-konsistenan UE dalam menerapkan pelarangan terbang tersebut. "Awalnya hanya masalah administrasi dan komunikasi sehingga mereka bilang, 51 maskapai Indonesia dalam kategori tak dikenal, kemudian soal kategorisasi keselamatan dibandingkan dengan apa yang dilakukan FAA (federal aviation administration/FAA, Amerika Serikat) kini, beralih belum terpenuhinya ketentuan ICAO," katanya. Selain itu, ada penegasan dari ICAO yang bersumber atas pertanyaan Indonesia di awal 2008 bahwa hasil audit ICAO tidak bisa digunakan untuk kepentingan melarang penerbangan di suatu negara. "ICAO secara resmi menyurati hal itu tertanggal 25 Juni 2008 atas pertanyaan dari surat kami pada Januari 2008," kata Jusman. Bahkan, Indonesia, sejak pelarangan terbang diterapkan, sudah menantang pihak UE untuk mengirimkan tim inspeksinya untuk melihat sendiri perkembangan safety dan kemampuan regulator, sebagaimana dilakukan oleh negara lain seperti Arab Saudi, Australia dan sejumlah negara lainnya dengan Indonesia. "Berdasarkan perkembangan ini, Indonesia mengambil sikap ke depan adalah fokus kepada kerjasama bilateral dengan maskapai di beberapa kawasan yang posisinya masih menghargai otoritas penerbangan Indonesia, sedangkan dengan Eropa, selama pelarangan terbang tidak dicabut, tidak akan pernah ada persetujuan bilateral bidang penerbangan," katanya. Tiap tiga bulan dievaluasi Kendati begitu, Pierre berharap, Indonesia tidak perlu kecewa dengan keputusan kolektif UE tersebut akan dievaluasi setiap tiga bulan. "Nopember tahun ini kami akan bersidang kembali dan diharap saat itu, pelarangan terbang siap dan bisa dicabut jika Indonesia sudah memenuhi persyaratan," katanya. Dia juga melihat pemerintah Indonesia serius mempersiapkan perubahan dalam Undang-Undang Penerbangan di Indonesia. Dirjen Perhubungan Udara, Budhi Muliawan Suyitno, membenarkan, pemerintah berharap dalam tiga bulan ke depan, regulasi penerbangan Indonesia sudah bisa disetujui oleh Komisi V DPR, meski targetnya akhir tahun ini. Budhi menambahkan, beberapa contoh dari delapan item temuan ICAO itu adalah tuntutan independensi otoritas penerbangan Indonesia dan pemisahan yang tegas antara regulator dan operator.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008