Oleh M. Fajar Pratama Jakarta (ANTARA News) - Belasan anak–anak usia Sekolah Dasar (SD) terlihat bersemangat mengikuti latihan silat yang diadakan oleh perguruan silat Beksi tradisional di kompleks perkampungan budaya Betawi Setu Babakan, Serengseng Sawah, Jakarta Selatan. Latihan yang dimulai pada pukul delapan malam tersebut juga disertai teriakan "hup", "hap" dan "heit" yang keluar baik dari mulut pelatih maupun peserta latihan. Salah seorang peserta latihan, Munawar, yang duduk di kelas 6 SD mengatakan bahwa mengikuti pencak silat pada awalnya karena dorongan orang tuanya. Namun akhirnya, ia sangat senang dan antusias mengikuti latihan yang diadakan dua kali tiap minggu. Ron, kakak Munawar, mengemukakan: "Saya sering mengantar Munawar untuk latihan silat. Saya senang dengan keseriusan dan keceriaan Munawar yang terlihat waktu latihan." Pencak silat sebagai seni bela diri juga sering dipakai dalam seni pertunjukan dan berbagai upacara adat. Di sela–sela latihan salah seorang pembimbing menyemangati anak didiknya, terlihat beberapa anak dipisahkan dari barisan. "Mereka berdua akan dilatih menjadi 'palang pintu'," kata Yudi, peserta latihan yang sudah sering menjadi palang pintu. Ia menambahkan, "palang pintu" merupakan istilah yang sering ditemui pada upacara adat Betawi, biasanya dapat ditemui pada acara pernikahan dan khitan. Yudi mengemukakan, sudah sekitar tujuh bulan mengikuti latihan di perguruan Beksi tradisional itu. Awal mula ketertarikannya lantaran banyak teman sekolahnya yang ikut, dan ia pun hobi berolah raga. Menurut dia, silat sekarang sudah cukup berkembang dan tidak kalah dengan masuknya seni bela diri asing yang masuk ke Indonesia. Sementara itu, Oman yang menjadi salah seorang pelatih silat Beksi tradisional di Setu Babakan menuturkan, minat masyarakat terhadap silat cukup baik, dan hal itu dapat dilihat dari bertambahnya jumlah peserta latihan. "Yang tadinya hanya anak–anak, kini juga banyak remaja dan dewasa yang bergabung," ujarnya. Nama lengkap perguruan silat itu adalah Beksi Tradisional Haji Hasbullah. Ditahbiskannya nama sang guru ada ceritanya. Dikisahkan, guru besar asal bela diri itu justru seorang keturunan Tionghoa bernama Lie Ceng Oek. Ia tinggal di Kampung Dadap, Tangerang, Banten. Lie memiliki seorang pegawai bernama Ki Marhali. Ketika itu, Marhali kerap melihat tuannya berlatih kungfu. Lantas ia mencoba gerakan-gerakan sang tuan. Lie, yang melihat Marhali memiliki bakat, lantas mengajarinya. Suatu waktu, Marhali bertemu dengan H. Ghozali dari Petukangan, Jakarta Selatan. Ghozali, yang mendengar Marhali seorang ahli ilmu bela diri lantas menjajalnya. Marhali pun menang. Ghozali dan keponakannya, H. Hasbullah, akhirnya belajar ilmu bela diri baru tersebut. Selain Hasbullah, Ghozali juga memiliki dua murid lainnya, sehingga jadilah tiga perguruan Beksi yang ada sekarang dengan menasbihkan nama gurunya masing-masing: H. Hasbullah, Engkong Nur dan Engkong Simin. "Kami masih sering bertemu dan bersilaturahmi. Terakhir kami mengadakan festival dan Beksi H. Hasbullah keluar sebagai juara," kata Basyir, sambil menunjuk piala bergilir di ruang tamu rumahnya. H. Hasbullah (1896-1989) mengembangkan ilmunya, terutama di Petukangan, Kebayoran Lama, Ulujami, dan Pondok Aren. Murid-muridnya lantas mengembangkannya hingga ke lima wilayah Jakarta. Setu babakan adalah wilayah pelestarian budaya betawi yang di tetapkan oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota (Pemda DKI) Jakarta, setelah hal serupa gagal diterapkan di Condet, Jakarta Timur, yang lingkungan dan suasananya sudah berubah. Di lokasi yang tidak jauh dari Setu Babakan ada Universitas Indonesia (UI), yang masyarakat umum secara mudah menjumpai kelompok yang mempelajari Capoeira, seni bela diri yang berasal dari Brasil. Adit, salah seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI yang berlatih Capoeira, mengemukakan alasannya memilih seni bela diri tersebut. "Menurut saya, copoeira menarik karena berdasar dari gerak tarian, sehingga menyenangkan mengikuti latihan." Ia pun berkomentar, "Menurut saya, silat sudah cukup berkembang, dibuktikan dengan sudah buka cabangnya di negeri Paman Sam." Sedangkan, Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) yang diketuai H. Prabowo Subianto, mencatat bahwa pencak silat sudah dipelajari oleh banyak orang di mancanegara, seperti Amerika Serikat (AS), Jerman, Belanda, Belgia, Denmark dan Australia. Hal itu setidak-tidaknya berlangsung sebelum tahun 1987. Hanya saja, pencak silat perkembangannya bisa jadi belum terlalu dikenal luas oleh masyarakat. Hal senada dibenarkan oleh Muali Yahya, Ketua Komando Latihan 4 (kolat 4) Perguruan Silat Beksi Tradisional. "Silat Beksi tradisional sendiri sudah dipelajari oleh beberapa pasukan khusus luar negeri, seperti Australia, Jerman dan Finlandia," katanya. Lelaki yang sudah menekuni silat sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP) tersebut mengatakan, sosialisasi mengenai ilmu bela diri tersebut kepada masyarakat masih sangat kurang, sekalipun tetap eksis di tengah–tengah masyarakat, kalangan budaya dan acara festival yang diadakan pemerintah. Hanya saja, ia menilai, serangkaian kegiatan tersebut hanya kurang diekspos, terutama oleh media massa. Selain itu, padepokan pencak silat di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang juga menjadi lokasi markas Pengurus Besar (PB) IPSI, terlihat kurang siap dalam menerima pengunjung yang bermaksud mendapatkan informasi tentang silat. Tidak lengkapnya data perkembangan mengenai silat, peletakan arsip yang tidak diatur secara baik membuat pihak pengelola padepokan justru terlihat sedikit kewalahan dalam melayani pengunjung. Ketika ditanya mengenai data perguruan dan jumlah anggota pencak silat yang ada di Indonesia sampai 2008, pihak perpustakaan IPSI mengakui bahwa tidak menyimpan data tersebut, dan menyarankan bertemu pihak pengurus. Selain itu, buku–buku yang disarankan dibaca pengunjung adalah literatur yang justru disusun pengurus IPSI pada 1987, sehingga tidak aktual lagi. "Cukup sulit untuk mengetahui jumlah perguruan, termasuk jumlah anggotanya. Hal ini disebabkan tidak semua pengurus ingin mendaftarkan perguruannya ke IPSI. Tentu hal ini mempersulit dalam hal pendataan," kata salah seorang karyawan padepokan dan museum pencak silat di TMII. Muali menyetujui pernyataan pihak museum. Menurut dia, memang banyak perguruan yang didirikan, tetapi mereka enggan mendaftarkan perguruannya lantaran berbagai alasan. "Perguruan Beksi tradisional ini sendiri memang berada di bawah naungan IPSI, tetapi tidak terlalu banyak berinteraksi dengan pengurus IPSI," katanya. Menurut Muali, sekarang ini silat sudah jauh berkembang dari segi peminat, dan banyak cara juga ditempuh demi kemajuan silat sendiri. Dan, salah satunya adalah didirikannya Forum Pecinta Silat Indonesia yang (FPSI) dipimpin oleh mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang juga mantan Ketua PB IPSI, Edy Nalapraya, sebagai wadah dan sarana sosialisasi. "Saya berharap, silat bisa terus eksis dan berkembang tidak hanya di tingkat DKI Jakarta dan nasional, tetapi agar silat juga bisa mendunia," ujarnya menambahkan. (*)

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008