Jakarta (ANTARA News) - "Keselamatan penerbangan, kok divoting." Demikian komentar singkat Wimar Witoelar, pembawa acara sebuah talk show di di sebuah televisi swasta, lima bulan lalu. Komentar singkat seorang Wimar itu disampaikan saat menanggapi bintang tamu di acara itu, Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal, ketika menjelaskan polemik seputar larangan terbang Uni Eropa (UE) atas 51 maskapai Indonesia sejak 6 Juli 2007. Jusman, pada beberapa kali kesempatan, memang kerap menyatakan keheranannya terhadap pola pengambilan keputusan UE yang beranggotakan 27 negara itu dalam hal pencabutan "hukuman" larangan terbang terhadap negara lain oleh sebuah komunitas negara. "Keputusan pelarangan ditentukan oleh beberapa negara yang berpengaruh, tetapi ketika hendak diputuskan dicabut, harus melalui mekanisme seperti di parlemen, yakni memakai voting segala. Padahal, keselamatan penerbangan murni persoalan teknis dan implementasi di lapangan," kata Jusman. Kini, Indonesia sebagai sebuah negara, terhitung sejak 24 Juli 2008 kembali mendapatkan perlakuan "keputusan ala parlementer" UE yang bersidang pada 10-11 Juli lalu di Brussel, Belgia. Larangan terbang atas 51 maskapai Indonesia kembali diteruskan. Artinya, secara kasat mata, berdasarkan metoda pengambilan keputusan tersebut sudah jelas-jelas adalah keputusan politis UE atas Indonesia. Selain itu, jika diamati secara bijak, sejarah penetapan larangan terbang mulai 6 Juli 2007 oleh UE saat itu, jelas-jelas dilakukan secara unilateral atau sepihak. Bahkan secara harfiah, dari beberapa alasan yang berkembang waktu itu, lebih ke persoalan teknis-administratif, meski secara kasat mata, dunia penerbangan di Indonesia sedang ada krisis. Krisis itu ditandai dengan apa yang disebut UE sebagai kegiatan komunitas negara itu yang memantau situasi keselamatan penerbangan sipil di Indonesia sejak awal 2007, setelah terjadi 62 kecelakaan dan kejadian serius selama tiga tahun terakhir. Korban yang ditimbulkan selama serangkaian kejadian serius itu memang menelan lebih dari 200 jiwa. Pil pahit Agaknya, Indonesia mulai Juli 2008 ini, harus menelan kembali "pil pahit" dari UE berupa larangan terbang atas seluruh maskapai Indonesia ke langit Eropa, meski hingga saat ini, selain Garuda yang pernah terbang ke sana, tak ada maskapai yang terbang ke Eropa. Paling tidak, Indonesia dalam amatan UE, sebagaimana diakui Perwakilan Uni Eropa (UE), Pierre Phillipe, dalam setahun terakhir secara teknis menemukan dua hal serius, yakni masih lemahnya maskapai Indonesia untuk menerapkan standar keselamatan penerbangan internasional. Kedua, UE masih melihat, kemampuan dan kemauan otoritas penerbangan sipil Indonesia untuk mengawasi maskapai penerbangan yang juga belum maksimal, meski dalam setahun terakhir sudah menunjukkan kemajuan. "Karena itu, kami menilai semua itu belum cukup memenuhi standar keselamatan penerbangan internasional seperti yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), dimana Indonesia adalah anggota ICAO," kata Pierre. Bahkan, dalam rilis UE disebutkan, sesuai dokumen yang dikirim Indonesia pada Sidang UE 10-11 Juli 2008, pelaksanaan inspeksi penerbangan, baru saja dimulai dan belum sesuai rencana. Mereka menyebut, tidak ada informasi rinci mengenai pengawasan terhadap maskapai penerbangan lainnya dalam hal perawatan dan operasional penerbangan. Tidak hanya itu, hasil audit lapangan Komisi Eropa pada November 2007 di Indonesia, membenarkan temuan audit ICAO 2004-2007 dan penurunan kategori Indonesia dari peringkat pertama ke dua oleh FAA (Federal Aviation Administration) Amerika Serikat. "Itu artinya standar ICAO belum terpenuhi. Padahal, sebagai penandatangan Konvensi Chicago wajib mematuhi ICAO," kata Pierre. Pihak Indonesia pun, sebagaimana disampaikan Direktur Sertifikasi Kelaikan Udara, Dephub, Yurlis Hasibuan, membenarkan audit ICAO tersebut, tetapi dari total temuan 121 temuan, yang terkait keselamatan penerbangan hanya 69 temuan. "Dari 69 temuan itu, sebesar 61 persen atau 42 temuan sudah ditindaklanjuti dan sisanya terkait revisi UU Penerbangan yang kini sudah ditangan DPR," kata Yurlis. Harus tegas Bagi pemerintah, agaknya sudah menjadi kebiasaan selama ini, jika jadi korban kebijakan pihak lain, selalu saja berupa defensif dengan aneka alasan. Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal tentu menjadi pihak yang sangat dikecewakan oleh berlanjutnya larangan terbang tersebut. Sang menteri, selain mengeluarkan pernyataan bahwa larangan terbang itu menimbulkan beberapa konsekuensi, juga menilai bahwa apa yang dilakukan UE dengan menggunakan dalih temuan ICAO sebagai dasar larangan terbang, sebagai tindakan tidak tepat. "Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, selama ada larangan terbang, tidak akan melakukan lawatan ke negara Eropa, sebab tidak mungkin dilakukan, jika dalam penerbangannya menggunakan selain Garuda Indonesia," kata Jusman. Selain itu, terhadap materi temuan ICAO yang dijadikan landasan UE, Jusman juga mempersoalkannya, karena selain UE bukan anggota ICAO, juga ada pernyataan resmi bahwa hasil temuan ICAO tidak boleh digunakan sebagai dasar untuk melakukan pelarangan terbang. "Surat resmi ICAO pada 25 Juni 2008 atas pertanyaan Indonesia pada Januari 2008, bahwa ternyata temuan ICAO tidak bisa digunakan dijadikan pelarangan terbang ke suatu negara. Kalau begini caranya, UE kan seperti polisi ICAO," katanya. Bagi pengamat penerbangan Bachrul Hakim yang juga mantan Direktur Niaga Garuda Indonesia ini, Indonesia selama pelarangan terbang diberlakukan atas Indonesia, tidak pernah jelas bersikap. Padahal, dalam situasi seperti ini, lanjutnya, Indonesia harus tegas yakni apakah menuruti kemauan UE atau sebaliknya. Jika Indonesia sampai sejauh ini, masih penting keberadaan wilayah udara Eropa, maka tidak ada kata lain, menuruti apa yang diinginkan. "Seperti apa yang dilakukan Pakistan yang dalam waktu enam bulan, sudah lolos dari larangan terbang UE. Turuti apa, maunya. Penuhi persyaratan teknis di lapangan yang diminta. Tidak perlu defensif dan mengaitkan dengan kepentingan politik atau bisnis," kata Bachrul. Kemudian, sebaliknya. "Jika dinilai larangan terbang UE itu sebagai ancaman kedaulatan, ya sebaiknya Indonesia melakukan tindakan serupa. Saya yakin, mereka juga akan berhitung. Jangan seperti sekarang, Indonesia tidak jelas. Banyak `grey area`-nya. Ketegasan bersikap itu perlu dan disampaikan dalam diplomasi yang tegas pula," katanya. Ketegasan diperlukan oleh Indonesia, sebagai salah satu negara berdaulat. "Diakui atau tidak, pelarangan terbang ini semakin mempermalukan Indonesia di mata dunia. Masak kita disamakan dengan negara-negara 'gurem', seperti Gabon dan Republik Kongo," katanya. Indonesia dengan tingkat pertumbuhan penumpang udaranya yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, sangat tidak layak disejajarkan negara-negara itu. Apalagi, kini maskapai Indonesia mampu membeli pesawat-pesawat keluaran terbaru hingga ratusan jumlahnya. Namun, seperti dikatakan Wapres Jusuf Kalla, pelarangan terbang jangan dijadikan ancaman, tetapi cambuk atau pil pahit untuk memperbaiki tingkat keselamatan dan keamanan penerbangan Indonesia. (*)

Pewarta: Oleh Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2008