Jakarta (ANTARA) - Puluhan seniman muda dari Pulau Dewata mementaskan garapan seni pertunjukan "Candra Bhawa" dengan begitu memesona memeriahkan pawai serangkaian Penutupan Pekan Kebudayaan Nasional 2019 di Istora Senayan, Jakarta.

"Keikutsertaan seniman-seniman muda Bali dalam ajang ini merupakan wujud kontribusi kita dalam pemajuan kebudayaan nasional sebagaimana amanat Undang-Undang No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Terlebih Pemprov Bali memiliki visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali yang artinya pemajuan kebudayaan itu menjadi salah satu fokus atau prioritas pembangunan," kata Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Wayan "Kun" Adnyana, disela-sela mengikuti pawai "Candra Bhawa", di Istora Senayan, Jakarta, Minggu malam.

Pawai bertajuk Candra Bhawa (kelembutan dan kewibawaan cahaya rembulan di tengah gelapnya malam) dibawakan 50 pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam Sanggar Puri Saraswati (Banjar Sengguan, Singapadu, Gianyar) dan Sanggar S'mara Murti (Celuk, Sukawati, Gianyar) mewakili Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

Baca juga: Parade Digdaya Nusantara akhiri Pekan Kebudayaan Nasional

Tepuk tangan penonton sontak riuh ketika duta seni dari Bali dengan nomor urut 10 yang tampil Pintu V Istora Senayan. Penonton begitu antusias menyaksikan talenta-talenta berbakat seniman muda Bali unjuk kebolehan, apalagi diiringi dengan iringan gamelan baleganjur begitu bersemangat.

Pawai budaya "Candra Bhawa" tak saja menampilkan atraksi berjalan para seniman dengan rute dari Istora Senayan menuju Hotel Fairmount ke Jalan Asia Afrika-Plaza Senayan hingga berakhir di Kemendikbud, tetapi juga dilakukan display di tiga panggung penonton di sepanjang rute yang dilewati selama dua menit.

Di sepanjang rute pawai yang menempuh jarak lima kilometer itu, wisatawan asing maupun warga Ibu Kota terlihat begitu antusias mengabadikan pawai duta kesenian Bali dengan ponsel pintarnya masing-masing. Bahkan tidak sedikit yang meminta berfoto bersama dengan seniman-seniman muda Bali.

Made Sugiarta, penata tari atau koreografer mengemukakan garapan "Chandra Bhawa" yang berarti kelembutan dan kewibawaan cahaya rembulan di tengah gelapnya malam tersebut berpijak dari "Cakra Mandala Nusantara" yang menjadi tema sentral Pekan Kebudayaan Nasional 2019.

Cakra berati lingkaran, persatuan, pusaran, dinamika, "Mandala" yakni daerah, wilayah, etnik, bhineka, serta "Nusantara" bermakna ekspresi dinamika daerah bersatu untuk Indonesia.

Baca juga: Mendikbud Muhadjir Effendy tutup Pekan Kebudayaan Nasional 2019

"Tema ini tentu dapat dimaknai sebagai spirit untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila khususnya sila ke tiga yakni Persatuan Indonesia," ujar Sugiarta yang juga akademisi Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar itu.

Selain itu, berpijak dari visi Pemerintah Provinsi Bali yakni "Nangun Sat Kerthi Loka Bali" yang berarti menjaga kesucian dan keharmonisan alam Bali beserta isinya, untuk mewujudkan kehidupan krama (masyarakat) dan gumi (alam) Bali yang sejahtera dan bahagia melalui program semesta berencana menuju Bali Era Baru. Garapan "Cadra Bhawa" juga mengacu pada tema pawai malam "Eksotika Candra Kirana Indonesia".

"Berpijak dari spirit ini selanjutnya muncullah gagasan kami untuk menuangkannya ke dalam garapan pawai dengan judul Candra Bhawa. Awalnya durasi garapan display pawai disiapkan untuk tampil selama tujuh menit, tetapi akhirnya dipadatkan menjadi dua menit menyesuaikan permintaan dari panitia di Kemendikbud," ucapnya bersama penata artistik Dr I Gusti Ngurah Sudibya dan I Kadek Wahyudita serta Cokorda Istri Putri Rukmini (Ketua Sanggar Puri Saraswati).

Dalam merancang garapan tari untuk pawai, Sugiarta terinspirasi dari tradisi ruwatan yang ada di Bali. Tradisi ruwatan adalah ritus penyucian untuk mencapai kehamonisan dan kebahagiaan.

Secara ringkas, dalam garapan pawai Candra Bhawa awalnya digambarkan terjadi gejolak di alam semesta. Dari gejolak itu dilakukan ritual pengruwat sehingga dihadirkan sejumlah sarana persembahan seperti gebogan, uparengga, serta kesenian sakral seperti Sanghyang Dedari (simbol kesucian), Sanghyang Jaran (simbol kesadaran), Barong (simbol persatuan), kemudian Garuda Emas (simbol Pancasila).

Sementara itu, Pendiri Sanggar S'mara Murti I Nyoman Suryadi menambahkan, garapan pawai Candra Bhawa ini menggunakan musik iringan gamelan baleganjur. Gamelan ini sengaja dipilih karena merupakan salah satu ensambel gamelan Bali yang digunakan sebagai musik pengiring prosesi berjalan.

"Jadi gamelan ini sangat pas untuk menjadi iringan untuk pawai. Dilihat dari instrumentasinya, gamelan ini didominasi oleh instrument perkusi yang menghasilkan suara ketug bumi (menggelegar). Untuk menambah kesemarakan dalam rangka garapan pawai budaya ini, maka dari instrumen yang telah ada jumlahnya dilipat gandakan dan ditambahkan dengan beberapa instrumen airophone seperti suling, serta dipadukan dengan yel-yel," ucapnya bersama penata artistik

Instrumennya terdiri tiga pasang kendang cedugan, enam buah reyong, delapan pasang ceng-ceng kopyak, satu buah tawa-tawa, satu buah gong besar, satu buah kempur, satu buah bebende, dan sembilan buah suling.

Baca juga: Taman budaya se-Indonesia meriahkan Pekan Kebudayaan Nasional 2019


Nuansa ke-Indonesiaan dalam pawai "Candra Bhawa" kian terasa kental karena disertai juga beberapa lagu atau gending di antaranya gending Persada Nusantara yang menceritakan tentang toleransi dan kebhinnekaan Indonesia, serta gending untuk Sang Hyang Jaran yang menceritakan ritual yang ada di Bali. Kedua gending ini diciptakan oleh I Nyoman Suryadi sendiri.

"Ada lagu yang bersifat nasional agar penonton nantinya juga mengerti maksud dari gending yang kami bawakan. Intinya mengajak untuk menjaga toleransi dan persatuan Indonesia. Sedangkan gending Sang Hyang Jaran saya berusaha untuk mengembangkan analogi seperti proses nuunang (salah satu proses ritual, red)," kata Suryadi.


Baca juga: Pentas "Somya Bhuta" Taman Budaya Bali ramaikan panggung PKN

Di sisi lain, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Wayan "Kun" Adnyana menambahkan, kebudayaan tidak saja bermanfaat bagi kemajuan kesejahteraan tetapi turut membangun karakter bangsa sesuai dengan pilar ketiga Tri Sakti Bung Karno yakni Berkepribadian dalam Kebudayaan.

"Posisi penting itu secara visioner dikembangkan dengan menjaga, melestarikan, tradisi seni klasik dan seni rakyat. Itu yang sepenuhnya dihadirkan dalam Pekan Kebudayaan Nasional. Ini juga secara politis menjadi ajang pembuktian bahwa komponen budaya di Indonesia ini siap menjaga kebhinekaan Indonesia melalui pondasi kebudayaan Nusantara Indonesia," ujarnya didampingi Kabid Kesenian dan Tenaga Kebudayaan Provinsi Bali Ni Wayan Sulastriani itu.

Jadi, lanjut Kun Adnyana, anasir apapun yang berupaya untuk merongrong atau melawan ikrar kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika pasti akan dihadapi bersama. "Kebudayaan sebagai pondasi bagaimana Indonesia diikat dalam suatu ikrar yang berpondasi pada Pancasila 1 Juni 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika," katanya yang juga akademisi Institut Seni Indonesia Denpasar itu.

Tidak hanya ikut serta dalam pawai saja, namun Dinas Kebudayaan Provinsi Bali ikut serta ke seluruh rangkaian kegiatan dalam Pekan Kebudayaan Nasional dari 7-13 Oktober 2019 seperti lomba permainan tradisional yang berhasil meraih empat emas, pameran foto warisan budaya tak benda nasional milik Bali dan pergelaran temu taman budaya.
Garapan pawai Candra Bhawa yang dibawakan puluhan seniman Bali dalam rangkaian Pekan Kebudayaan Nasional 2019 (Antaranews Bali/Ni Luh Rhisma/2019)

Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019