Jakarta,(ANTARA News) - Sudah bukan rahasia umum lagi menjelang Pemilu 2009, banyak Parpol yang mengincar Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk dijadikan mesin uangnya. Meski ada peraturan Meneg BUMN yang melarang BUMN membiayai kegiatan Pemilu Legislatif atau Pilpres, namun dalam prakteknya di lapangan akan sulit dilaksanakan dan dipatuhi. "Dari 138 BUMN yang ada diantaranya 75 persen direksi dan komisarisnya merupakan buah loby dan titipan parpol dalam setiap pemerintahan baik yang sedang berkauasa atau oposisi, semuanya kebagian `kue`," kata kata Ketua Masyarakat Profesional Madani (MPM), Ismet Hasan Putro di Jakarta, Minggu. Karena itu, ia meyakini, akan sulit sekali bagi BUMN yang bersangkutan untuk tidak mematuhi permintaan parpol yang telah berjasa menempatkan mereka. "Apalagi jika iuran dari anggota parpol belum mencapai target yang ditentukan, maka BUMN akan menjadi ladang yang efektif untuk sumber pendanaan," ujarnya. Ismet mengatakan, praktek eksploitasi BUMN yang paling parah terjadi pada masa pemerintahan orde baru dan pemerintahan Megawati. Waktu itu, banyak BUMN yang diperdaya untuk membantu kegiatan Pemilu. Pengumpulan direksi dan komisaris BUMN merupakan bentuk mobilisasi agar mereka membantu dana kegiatan pemilu parpol. Menurut Ismet, ada beberapa modus BUMN yang dilakukan untuk membantu parpol. Pertama melalui proyek-proyek infrastruktur, kedua melalui privatisasi BUMN baik melalui IPO (go public) maupun strategic sale (penjualan ke mitra strategis), ketiga melalui proyek pengadaan barang dan jasa dan keempat melalui penyaluran kredit bank BUMN ke pengusaha-pengusaha yang terafiliasi dengan parpol. Modus lainnya dapat melalui KSO (kerjasama operasi) atas aset BUMN dalam jangka panjang dan penyertaan modal negara pada BUMN. Dia menambahkan, SK Meneg BUMN yang melarang BUMN membantu kegiatan parpol dari sisi pencitraan memang baik dan simpatik. Namun dalam prakteknya banyak celah yang akan digunakan direksi dan komisaris BUMN untuk tetap mengabdi pada parpol sebagai balas jasa sehingga SK tersebut diabaikan dan kehilangan daya cegahnya. "Apalagi belum ada hukuman yang bersifat terapi jera terhadap para pejabat BUMN yang membantu parpol atau melakukan praktek korupsi," katanya. Menurut Ismet, sejak dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sampai saat ini belum dirasakan peran maksimalnya untuk mencegah, mengawasi dan menindak praktek-praktek koruptif di BUMN yang sudah lazim terjadi, sistemik dan terpola. "Sebenarnya sudah banyak komponen masyarakat yang melaporkan praktek koruptif di BUMN, termasuk dari Meneg BUMN yang kala itu dijabat Sugiharto yang melaporkan indikasi korupsi di 30 BUMN. Namun nyatanya sampai saat ini KPK seolah mempetieskan kasus-kasus tersebut,"kata Ismet.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008