Mataram (ANTARA News) - Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Muliaman D. Hadad, mengatakan, kebijakan `Single Presence Policy` (SPP) atau Kepemilikan Tunggal Perbankan yang hendak diterapkan BI untuk meningkatkan pengawasan perbankan, tidak berlaku bagi Bank Pembangunan Daerah (BPD). "BPD tidak masuk dalam target kebijakan SPP itu karena sulit menyatukan pemiliknya yang berada di berbagai daerah," kata Muliaman, di sela-sela Musyawarah Nasional (Munas) III Forum Komunikasi Dewan Komisaris/Pengawas (FKDK/P) BPD Seluruh Indonesia (BPDSI), di kawasan wisata Senggigi, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Senin. Menurutnya, manajemen BPD di seluruh Indonesia tidak perlu mengkhawatirkan dampak kebijakan SPP atau lebih dikenal dengan sebutan Paket Oktober (Pakto) 2006 itu, karena kebijakan itu hanya diperuntukkan kepada Bank Umum Swasta Nasional (BUSN), Bank Campuran (BC) dan Bank Asing (BA). Disebut Pakto 2006 karena konsep kebijakan penyatuan kepemilikan bank itu dimunculkan di bulan Oktober tahun 2006. SPP yang dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 8/16/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006, merupakan konsekuensi dari telah diratifikasinya persetujuan untuk mendirikan WTO (World Trade Organization) melalui Undang Undang Nomor 7 Tahun 1994. "Ada kekeliruan pemahaman di kalangan pengelola Bank Pembangunan Daerah, seolah-olah SPP mengharuskan diberlakukan `holding company` (perusahaan induk) bagi semua bank. Tidak seperti itu pengertian SPP, yang mau disatukan pemiliknya tentu yang memungkinkan dilakukan seperti bank umum lainya," ujar Muliaman. Sebelumnya, Wakil Ketua Umum FKDK/P BPDSI yang juga Komisaris Utama PT Bank DKI Jakarta, Suryo Danisworo, mengatakan, sebagian pengelola BPD di berbagai daerah sempat mengkhawatirkan kebijakan SPP itu mengancam kelangsungan misi Bank Pembangunan Daerah (BPD). Bank Indonesia menempatkan SPP sebagai media peningkatan fungsi pengawasan bank namun kebijakan itu membuka peluang masuknya investor asing dan atau swasta sebagai pemegang saham pengendali. "Peluang masuknya investor asing untuk menguasai manajemen perbankan itu yang dikhawatirkan, sehingga akan disikapi secara baik karena semua komisaris dan direksi serta gubernur seluruh Indonesia akan hadir dalam Munas III FKDK/P BPDSI," ujar Suryo. Menurut Muliaman, pemilik BPD di masing-masing daerah berbeda dan kepemilikan sahamnya pun berbeda sesuai kemampuan keuangan daerah tersebut sehingga sangat sulit untuk dilakukan penggabungan kepemilikan bank. BPD memungkinkan membentuk induk perusahaan untuk kemantapan konsolidasi yang mengarah kepada kebijakan strategis seluruh bank daerah secara sinergis, baik di bidang pemasaran, keuangan maupun sumber daya manusia. "Tujuan sinergis dalam manajemen bank daerah di seluruh Indonesia itulah yang menjadi materi konsolidasi antarbank daerah, bukan mengkhawatirkan kepemilikan tunggal atau SPP itu," ujarnya. Dia menambahkan, justru arsitektur perbankan Indonesia telah menentukan pengelompokan bank ke dalam empat kategori dan akan diberlakukan pada tahun 2010. Kelompok bank dengan modal diatas Rp50 triliun dikategori bank internasional, modal usaha Rp10 triliun hingga Rp50 triliun dikategorikan bank nasional dan modal usaha dari Rp100 miliar hingga Rp10 triliun dikategori bank fokus. Kategori kelompok bank lainnya yakni bank skala usaha terbatas yang modalnya hanya sampai Rp100 miliar. "Bank daerah atau BPD termasuk dalam kelompok bank yang terfokus pada segmen pasar tertentu. Lebih diarahkan untuk dapat menjalankan fungsi intermediasi perbankan terhadap kegiatan usaha di daerah. Utamanya UMKM dan koperasi dan mendanai kegiatan pembangunan infrastruktur di daerah," ujarnya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008