Bogor (ANTARA News) - Separuh dari dosen tetap perguruan tinggi di Indonesia belum memiliki pendidikan S2, yang menjadi syarat minimal bagi seorang dosen untuk bisa mengajar. Dari 120.000 dosen tetap di Indonesia, 50,65 persen atau sekitar 60.000 di antaranya belum berpendidikan S2, kata Direktur Ketenagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti), Departemen Pendidikan Nasional, Prof Dr Muklas Samani di Bogor, Jawa Barat, Rabu. "Padahal undang-undang kita mensyaratkan dosen perguruan tinggi minimal S2 untuk mengajar," kata Muklas pada pembukaan pertemuan pimpinan pascasarjana PTN se Indonesia di Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB). Jumlah dosen di seluruh Indonesia tercatat 240 ribu, dan 120 ribu di antaranya adalah dosen tetap. Pertemuan tahunan yang digelar pada 6-7 Agustus ini diikuti oleh 138 pimpinan sekolah pascasarjana dari seluruh Indonesia. Untuk menuju perguruan tinggi kelas dunia, kata Muklas, dibutuhkan dosen yang berkualitas pula. "Disinilah pentingnya sekolah pascasarjana meningkatkan mutunya sehingga menjadi berkelas dunia. Dengan demikian sarjana S2 yang dihasilkan pun juga berkelas dunia, dan akan berpengaruh pada lulusan under graduate (S1)," kata dia. Perguruan tinggi juga harus berkolaborasi di bidang riset dan program edukasi dengan perguruan tinggi lain di dalam maupun luar negeri dalam upaya peningkatan kualitas tersebut. "Sekarang ini yang banyak dilakukan adalah kolaborasi dalam riset. Kita tengah mendorong kolaborasi dalam program edukasi," kata Muklas. Salah satu program yang akan terus dikembangkan adalah "twinning program" atau "double degree" dengan perguruan tinggi asing untuk pendidikan pascasarjana. "Misalnya IPB membuat program pendidikan bersama dengan universitas lain di luar negeri yang peringkatnya berada di atas IPB," kata dia. Melalui kolaborasi semacam itu, jelas dia, lulusan perguruan tinggi di Indonesia juga akan diakui sama dengan perguruan tinggi kelas dunia yang menjadi rekanan kerjasama. Beberapa perguruan tinggi di Indonesia sudah melakukan kolaborasi semacam itu di antaranya Universitas Sriwijaya dengan perguruan tinggi di Jepang, UGM dengan ANU di Australia. Ia mengakui, program "twinning" tersebut baru bisa dijalankan untuk pendidikan pascasarjana. "Untuk undergraduate agak berat karena kondisi lulusan SMA kita belum mendukung." Sementara kolaborasi dengan sesama perguruan tinggi dalam negeri dilakukan dalam bentuk aliansi untuk peningkatan kapasitas, terutama untuk membantu perguruan tinggi yang berada di daerah, kata Muklas.(*)

Pewarta:
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008