Jakarta (ANTARA News) - Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Djoko Santoso menegaskan, surat 40 anggota kongres Amerika Serikat (AS) yang meminta pembebasan tanpa syarat dua anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah bentuk intervensi. Ketika ditemui di Istana Negara usai menghadiri peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional ke-13, Jumat, Panglima TNI mengatakan penahanan dua anggota OPM itu sepenuhnya adalah kewenangan pemerintah Indonesia. "Yang jelas, itu memang intervensi," tegasnya. Sebanyak 40 anggota Kongres AS melayangkan surat ditujukan langsung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta pembebasan segera tanpa syarat dua anggota OPM, Filep Karma dan Yusak Pakage, yang dijatuhi hukuman sejak April 2005 karena mengibarkan bendera bintang kejora di Abepura pada 1 Desember 2004. Duta Besar Indonesia untuk AS Sudjadnan Parnohadiningrat membenarkan surat tertanggal 29 Juli 2008 itu dan mengatakan telah mengirimkannya ke Jakarta. Namun, Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa maupun Juru bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal mengaku belum menerima surat tersebut. Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengatakan, saat ini Kementerian Polhukam bersama dengan Departemen Luar Negeri sedang membahas surat Kongres AS tersebut. "Sekarang sedang dibahas di Menkopolhukam, saya kira harus ditanyakan kepada Menlu karena kita hanya mendukung. Dari segi hubungan antar negara, ini penanganannya oleh Deplu," tutur Menhan. Berbeda dengan Panglima TNI, Juwono menilai surat Kongres AS itu bukan merupakan intervensi. "Wajar saja kalau mereka mengajukan itu. Tapi, nanti kita kaji dan kita pastikan atas dasar kepentingan kita. Apa layak ditanggapi atau tidak," ujarnya. Surat Kongres AS itu direkomendasikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional, East Timor and International Action Network (ETAN) dan isi surat tersebut dimuat dalam situs mereka. Menurut Juwono, memang banyak LSM berbasis di New York yang mencoba menggugat beberapa masalah dalam negeri Indonesia, terutama yang berkaitan dengan TNI. Setiap bulan, lanjut dia, selalu saja ada LSM berbasis di Eropa dan Amerika Utara menggugat persoalan hak asasi manusia di Papua, Aceh, dan Poso dengan berbagai alasan. "Saya selalu mengatakan kepada Menlu, Menkopolhukam, agar mengkaji secara lintas departemen. Hanya, nanti penjurunya pasti Menlu. Tapi, sikap Menlu tentu juga mendapat masukan dari Menkopolhukam," jelasnya. Menhan memaparkan pada Maret 2007 ia sudah bertemu dengan 7 LSM internasional di Kedutaan Besar Republik Indonesia di AS khusus membahas hak asasi dari dimensi hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. "Saya katakan, bahwa kita di Papua sesuai dengan arahan Presiden selalu diselesaikan dengan dialog dan demokratis," ujarnya. ETAN menyebutkan permintaan pembebasan dua anggota OPM itu karena temuan penyiksaan dialami keduanya saat dimintai keterangan oleh aparat keamanan. Menhan mengatakan pihaknya akan mengkaji apakah laporan ETAN itu sesuai dengan kenyataan di lapangan. Kapolri dan Kapolda Papua, lanjut dia, akan dimintai keterangan dalam rapat koordinasi Kementerian Menkopolhukam. "Nanti Kapolri dan Kapolda Papua akan memberikan versi mereka, baru kita tentukan sikap jangan serta merta bereaksi atas laporan sepihak," ujarnya. Menhan mengatakan, saat ini OPM dari sisi kemiliteran tidak terlalu kuat. Keberadaan organisasi itu saat ini hanya dipandang secara kultural yang sebenarnya ingin dihargai oleh pemerintah. Sementara itu, Panglima TNI mengatakan gerakan bersenjata OPM saat ini terbilang sangat kecil dan mereka hanya melakukan kegiatan bersifat politik. Namun, kata dia, TNI saat ini masih berjaga-jaga untuk stabilitas keamanan daerah sesuai dengan komitmen pemerintah untuk membina keutuhan wilayah. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008