Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah harus siap menghadapi berbagai komplikasi yang ada dalam proses pengalihan bisnis TNI, mengingat banyak unit-unit bisnis yang dikelola dan dimiliki TNI mengemban misi sosial selain keuntungan atau profit seperti rumah sakit dan lembaga pendidikan. "Jika rumah sakit dan lembaga pendidikan seperti Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi juga diambil pemerintah, konsekuensinya apakah Depdiknas dan Depkes mau menerima dan mengelolanya," kata pengamat politik CSIS Rizal Sukma dalam jumpa pers di Jakarta, Senin. Ia menegaskan, pemerintah mau tidak mau harus tetap melakukan pengalihan terhadap unit-unit bisnis yang dikelola dan dimiliki TNI, karena itu sudah diamanatkan oleh konstitusi yakni UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI pasal 76 dan 39 demi mewujudkan TNI yang profesional. Tetapi, tambah dia, pemerintah juga harus siap dengan segala konsekuensi dan komplikasi yang muncul jika pengalihan itu dilakukan. Dicontohkannya, sekolah yang dikelola yayasan TNI sangat membantu masyarakat, terutama di daerah terpencil. Karena selain sekolah itu didirikan untuk anak-anak prajurit yang tengah bertugas di daerah terpencil, sekolah itu juga bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. "Kalau sekolah itu diambilalih pemerintah, apakah Depdiknas siap. Jika tidak, kelangsungan pendidikan bagi anak-anak prajurit TNI dan masyarakat sekitar akan terganggu. Ini salah satu komplikasi nyata di lapangan yang harus dipikirkan pemerintah, dalam rangka pengalihan bisnis TNI," tutur Rizal. Hal yang sama juga berlaku bagi rumah-rumah sakit yang dikelola TNI. Jika rumah sakit itu diambilalih pemerintah, maka rumah sakit itu harus memberikan pelayanan bagi seluruh lapisan masyarakat, tidak boleh diskriminatif. "Berbeda dengan ketika rumah sakit itu tetap dikelola TNI, bisa untuk umum, bisa juga hanya untuk keperluan TNI baik dalam masa damai atau perang. Ini harus dipikirkan juga, tidak bisa asal diambilalih," katanya. Kondisi yang sama juga berlaku untuk koperasi simpan pinjam dan koperasi primer yang sangat membantu prajurit dan keluarga prajurit, dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. "Kalau itu diambilalih, apa pemerintah siap dengan tuntutan anggota koperasi tersebut yang telah rela sebagian pendapatannya dipotong untuk koperasi. Jadi, banyak hal nyata di lapangan terkait pengalihan bisnis TNI yang harus dipertimbangkan masak-masak oleh pemerintah," ujar Rizal. Jadi, lanjut dia, hambatan terbesar dalam proses pengalihan bisnis TNI bukan lagi masalah politis tetapi lebih pada kesiapan pemerintah menghadapi dan menyelesaikan berbagai konsekuensi dan komplikasi yang timbul. Tentang kemungkinan prajurit TNI melakukan bisnis TNI ilegal seperti beking pembalakan liar (illegal logging) dan penyelundupan (smuggling), Rizal mengatakan, itu sudah mengarah pada upaya penegakan hukum internal TNI terhadap anggotanya. "Timnas tidak berwenang menangani bisnis TNI ilegal yang bertentangan dengan hukum. Itu bukan porsi Timnas. Itu lebih pada upaya penegakan hukum internal TNI terhadap para anggotanya," ucapnya. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008