Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu, mengungkap surat elektronik mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Soedradjad Djiwandono kepada pegawai bagian pengawasan internal BI, Lukman Bunyamin. Isi surat yang diungkap dalam persidangan di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi itu berisi tentang status aliran dana BI serta kegelisahan Soedradjad setelah aliran itu menjadi kasus yang ditangani oleh KPK. KPK berhasil mengungkap isi surat itu setelah memindai komputer jinjing Soedradjad yang telah disita KPK beberapa waktu lalu. Berdasar fakta persidangan terungkap bahwa Soedradjad menerima aliran dana Rp20 miliar dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), sebuah yayasan yang berada di bawah kendali BI. Soedradjad sedang terjerat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ketika menerima aliran itu pada 2003. Akhirnya, penyidikan perkara Soedradjad dihentikan oleh kejaksaan, sehingga muncul dugaan sebagian uang juga mengalir ke aparat penegak hukum itu. Dalam suratnya, Soedradjad mengaku bingung apabila ditanya tentang peruntukan uang yang telah diterimanya. Pria kelahiran Yogyakarta itu ragu apabila harus mengatakan bahwa uang itu digunakan untuk hal yang tidak seharusnya, misalnya memberikan kepada penegak hukum. "Kan sama dengan saya mengatakan melakukan penyuapan, ini berat sekali bagi saya. Jadi saya harus bilang untuk apa?" ungkap Soedradjad dalam surat tersebut. Kalimat selanjutnya dalam surat itu menyebutkan, "Saya berpendapat bahwa jawaban terhadap pertanyaan dalam sidang itu saya hapuskan indikasinya, berat dan karena itu harus dihindari". Kasus dana BI telah menjerat lima pihak, yaitu mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, mantan Deputi Direktur Hukum BI Oey Hoy Tiong, mantan Kepala Biro Gubernur BI, Rusli Simandjuntak, mantan anggota DPR Antony Zeidra Abidin, dan anggota DPR Hamka Yandu. Berdasar laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kasus dana BI bermula ketika rapat Dewan Gubernur BI pada 2003 yang dipimpin Burhanuddin Abdullah mengeluarkan persetujuan untuk memberikan bantuan peningkatan modal kepada Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp100 miliar. Sejumlah Rp31,5 miliar dari dana itu diduga mengalir ke sejumlah anggota DPR untuk keperluan pembahasan revisi UU BI dan penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dalam persidangan, mantan Direktur Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) Baridjusalam Hadi dan mantan bendahara YPPI Ratnawati membenarkan pernah ada permintaan dana sebesar Rp13,5 miliar dari pihak BI. Menurut mereka, dana itu dialirkan ke Kejaksaan Agung untuk menyelesaikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Laporan BPK juga menyebutkan uang sebesar Rp68,5 mengalir ke sejumlah mantan pejabat BI yang terjerat kasus hukum. Para mantan pejabat BI yang pernah terjerat kasus BLBI adalah Gubernur BI Soedrajad Djiwandono, Deputi Gubernur BI Iwan R Prawiranata, dan tiga Direksi BI, yaitu Heru Supraptomo, Hendro Budianto, dan Paul Sutopo.
 Berdasar penelusuran, penyidikan perkara Iwan R. Prawiranata dan Soedradjad Djiwandono dihentikan oleh kejaksaan. Tim jaksa yang menangani perkara keduanya adalah Y.W. Mere, Chairul Amir, Enriana F, Andi M. Iqbal, Robert Peleau. Sementara itu, Paul Sutopo divonis satu tahun enam bulan oleh Mahkamah Agung (MA). Perkara Paul ditangani oleh tim jaksa yang terdiri dari Heru Chaeruddin, Sunarta, dan Ali Mukartono. Kemudian Hendro Budiyanto juga divonis satu tahun enam bulan oleh MA. Jaksa yang menangani perkara Hendro adalah F.X. Soehartono, Yudi Handono, Arnold Angkow, dan Widadi. Hal yang sama juga dialami oleh Heru Supraptomo. Heru divonis satu tahun enam bulan oleh MA. Tim jaksa yang menangani perkara Heru adalah Baringin Sianturi, Firdaus Dewilmar, Ramdhanu, Dwiyanto, dan Tony Sinay.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008