Jakarta (ANTARA News) - Pers jangan gamang kritik penguasa karena perbedaan antara pencemaran dan kritik `sekulit bawang`, bisa ditarik-tarik seperti karet. Bersihar Lubis, (wartawan Koran Tempo) yang mengajukan uji materi sejumlah pasal dalam KUHP yang kemudian ditolak oleh Majelis Hakim Konstitusi, Mahkamah Konstitusi (MK), saat dihubungi dari Jakarta, Jumat, mengemukakan, kritik sah saja demi kepentingan umum. "Kita jadi setback, karenanya saya berharap DPR akan mencoret pasal itu saat membahas RUU KUHP yang baru," harapnya. Menurut Bersihar Lubis, kebebasan pers saat ini terancam. Memang tergantung penegak hukum untuk memilah mana yang menghina dan mana yang merupakan kritik, tetapi akibatnya Dewan Pers menjadi tak berfungsi sebagai penyelesai sengketa pers. "Saya berharap ada MoU atau SKB antara Dewan Pers, Kapolri, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung (MA) agar kasus pers ditangani Dewan Pers, jangan dikriminalisasikan" kata Bersihar Lubis. Ia menyatakan keanehannya karena di satu sisi pasal 134, 136 dan pasal 137 KUHP tentang penghinaan kepada presiden telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 lalu. "Kok pasal 207 tentang penghinaan terhadap penguasa di bawah presiden ditolak, padahal normanya sama. Ini diskriminatif seolah-olah penguasa lebih istimewa dibanding presiden yang semestinya sama di mata hukum," katanya. Sebelumnya dilaporkan, Mahkamah Kontitusi (MK) menolak uji materi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan dua wartawan, Bersihar Lubis (Koran Tempo) dan Risang Bima Wijaya (Radar Yogya). Hal itu merupakan putusan majelis hakim konstitusi dalam sidang pengucapan putusan dalam rangka Pengujian KUHP terhadap UUD 1945, di Gedung MK, Jakarta, Jumat. "Menyatakan permohonan para pemohon ditolak," kata pimpinan majelis hakim konstitusi, Harjono.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008