Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi III DPR RI Maiyasayak Johan, mengatakan, jika partai politik (parpol) ingin menetapkan sistem suara terbanyak dalam penentuan calon anggota legislatif (caleg) maka UU No10 tahun 2008 harus diubah dulu karena UU tentang Pemilu tersebut menyebutkan bahwa caleg yang dipilih adalah yang memperoleh suara lebih 30 persen bilangan pembagi pemilih (BPP) dan jika tidak maka kembali ke nomor urut. "Saya mengimbau agar partai-partai mematuhi UU, yang nota bene merupakan kehendak partai-partai," katanya di Jakarta, Sabtu, menyikapi sikap beberapa partai yang secara internal menggunakan sistem suara terbanyak dalam menentukan anggota legislatif terpilih. Parpol yang akan menggunakan sistem suara terbanyak antara lain Partai Golkar, PAN, PBR, dan PDS. Ia mengatakan, sikap dan tindakan yang menyimpang aturan main yang ditetapkan UU kurang baik, karena akan menumbuhkan budaya tidak respek pada hukum. Partai politik tidak boleh berada dalam posisi melawan hukum. Apalagi ketentuan angka 30 persen BPP itu adalah fakta diterimanya suara terbanyak representatif. "Jika tidak ya kembali ke nomor urut. Atau jika tidak, ubah dulu UU-nya," katanya. Untuk itu saat ini Maiyasayak Johan secara yuridis formal menolak wacana sistem suara terbanyak tersebut walau secara substansial ia memahaminya. Ia mengingatkan dalam tataran politik kenegaraan, yang menuntut menghormati UU, partai tidak boleh menafsirkan UU dalam perspektif kepentingannya, melainkan juga harus dalam kerangka negara. "UU ini dibuat oleh utusan-utusan parpol di parlemen," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008