Washington, D.C., 18/8 (ANTARA) - Ketika "Indonesia Raya" berkumandang mengiringi penaikan bendera Merah-Putih di halaman Wisma Indonesia, Washington D.C., Minggu pagi, Ichsan (77 tahun) yang baru tiga tahun ini resmi menjadi warga negara Amerika Serikat, tak kuasa menitikkan air mata. Tubuh memang sudah agak membungkuk dan terlihat sudah tidak kuat berdiri lama, namun semua itu tidak menyurutkan langkahnya untuk datang mengikuti upacara detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI yang dipimpin Dubes RI untuk AS, Sudjadnan Parnohadiningrat. Dengan berjas rapi warna gelap dan sepatu hitam mengkilat, Ichsan ikut berbaris. Tidak berdiri seperti para peserta upacara lainnya, ia berbaris sambil duduk di kursi. Selama upacara berjalan, sosok yang tahun 1992 pensiun sebagai staf lokal di KBRI Washington D.C. setelah bekerja sejak tahun 1954, lebih sering menundukkan kepala. Dengan sapu tangan kertas, berkali-kali ia mengusap air mata saat lagu kebangsaan Indonesia bergema maupun lagu pengiring doa bagi para pahlawan yang gugur saat memperjuangkan kemerdekaan. "Teman saya meninggal waktu zaman Revolusi tahun 1945, terkena granat..." ujarnya, dengan terbata-bata dan kembali mengusap air mata ketika berbincang dengan ANTARA usai mengikuti upacara. Bertuturlah warga yang saat ini bermukim di Maryland, AS, itu sambil mengenang masa-masa para pemuda Indonesia berjuang melawan penjajahan Belanda dan Jepang. "Saat itu kami tidak punya alat-alat perang yang cukup. Setiap anggota kompi bisa pegang tiga granat saja, itu sudah tergolong bagus... dan beliau (temannya, red) meninggal terkena pecahan granat saat bertugas mengambil logistik bagi keperluan perjuangan," ungkap pria kelahiran Solo, Jawa Tengah, itu. Ia bercerita tentang masa-masa dirinya bergabung sebagai anggota Tentara Republik Indonesia (TRI) di Sukabumi, Jawa Barat. "Tadinya saya ingin menghabiskan waktu pensiun di Sukabumi. Tapi anak-anak saya lahir dan besar di sini, akhirnya saya putuskan tetap di sini saja," kata Ichsan. Kendati telah menjadi warga negara AS, ia menekankan dirinya dan keluarga masih memiliki ikatan kuat dengan Indonesia. "Tahun lalu kami sempat ke Indonesia. Sempat ke Banten, Serang, Sukabumi, Bandung, Jogja, dan Solo," katanya dengan `sumringah`. Selain penuh keharuan, peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan ke-63 RI yang berlangsung di halaman wisma -- kediaman Dubes RI di Washington DC -- juga diwarnai dengan keceriaan dan tawa saat berlangsungnya aubade yang menampilkan lebih dari 70 anak berusia 2-16 tahun. Anak-anak Indonesia yang berasal dari Washington D.C. dan sekitarnya itu memainkan lima lagu nasional, yaitu "Hari Merdeka", "Bangun Pemuda Pemudi", "Dari Sabang sampai Merauke", "Rayuan Pulau Kelapa" dan "Aku Anak Indonesia". Tidak hanya itu, mereka juga membawakan 11 lagu daerah, antara lain "Kampuang Nan Jauh di Mato", "Sinanggar Tullo", "Ondel Ondel", "Cing Cangkeling" dan "Yo Prakonco". Ditonton oleh Dubes dan Ny. Sudjadnan, staf KBRI serta ratusan anggota masyarakat, anak-anak bernyanyi sambil berbaris di panggung yang ditata bertingkat dan menghadap sinar matahari pagi. Pada lagu-lagu awal, para penyanyi dan musisi cilik itu terlihat bersemangat mengeluarkan suara, dengan dipandu oleh penyanyi tenor Indonesia, Dani Wisnu Dumadi, yang bertindak sebagai dirigen. ` Kekacauan` mulai terlihat saat para seniman cilik yang rata-rata berpakaian kebaya putih dengan rambut diselipi bunga segar warna merah --dan seniman cilik laki-laki berbaju putih dengan ikat pinggang batik-- mulai tiba di bagian tengah deretan lagu-lagu. Panggung tingkat pertama --yang diisi deretan panjang para penyanyi cilik berusia 2-5 tahun-- diwarnai berbagai tingkah yang mengundang tawa para penonton. Kemungkinan karena sudah mulai kepanasan terkena sengatan sinar matahari, beberapa anak balita sudah terlihat kehilangan konsentrasi. Ada yang mengusap-usap wajah yang terkena sinar matahari; ada yang menyingkapkan kain batik sambilmenggaruk-garuk kaki; menyanyi sambil menguap, bahkan berhenti mengeluarkan suara dengan tatapan kosong. Sebagian anak juga melakukan aksi spontan: memakai kaca mata hitam, merubah letak dan arah peci di kepala, konsentrasi bertepuk tangan. Seorang balita melakukan aksi duduk --dengan posisi salah satu kaki ditekuk mirip `orang makan di warung-- sambil berlindung dari sinar matahari di bawah bayangan rekan di sebelahnya, yang masih `terus berjuang` bernyanyi. Tepuk tangan yang diselingi suara-suara tawa dari penonton, terus mengikuti penampilan mereka sepanjang aubade menampilkan lagu-lagu terakhir, yaitu Ampar Ampar Pisang, Hela Rotane, Cublak Cublak Suweng, Si Patokaan dan Yamko Rambe Yamko. Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi di Washington dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-63 tahun 2008 sendiri berlangsung khidmat dengan penaikan bendera dilakukan oleh pelajar-pelajar Indonesia di Washington dan sekitarnya yang bertugas sebagai pasukan pengibar bendera. Pada sore harinya, KBRI Washington kembali melakukan upacara, yaitu penurunan bendera. Sebelum upacara penurunan Merah-Putih dilakukan, sepanjang hari Wisma Duta yang juga kerap disebut sebagian kalangan sebagai "Wisma Tilden" --karena beralamat di Tilden Street-- diisi dengan berbagai kegiatanantara lain pemotongan tumpeng, lomba baju tradisional anak-anak, dan saresehan dengan tema "Pemikiran-pemikiran dalam rangka peringatan 100 tahun Kebangkitan Bangsa dan 10 tahun Era Reformasi". Dr. Merlyna Lim, akademisi Indonesia yang saat ini merupakan asisten profesor pada lembaga School of Justice and Social Inquiry dan Consortium for Science, Policy and Outcomes di Arizona State University, hadir sebagai pembicara dalam sarasehan tersebut. Perwakilan RI Tidak hanya di KBRI Washington D.C., detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 juga diperingati di empat perwakilan Indonesia lainnya di AS, yaitu di New York, Chicago, Los Angeles serta San Francisco dan rata-rata dihadiri oleh sekitar 500 warga Indonesia. Di New York, upacara penaikan dan penurunan bendera dipimpin oleh Konjen RI, Trie Edi Mulyani. Upacara juga dihadiri oleh Dubes/Wakil Tetap RI untuk PBB di New York, Marty Natalegawa, serta dua deputi Wakil Tetap RI untuk PBB, yaitu Adiyatwidi Adiwoso dan Hasan Kleib. Pemotongan kue serta hiburan berupa penampilan kelompok musik dari New York dan New Hampshire, juara lomba karaoke KJRI New York, dan tarian oleh anak-anak, mengisi waktu menjelang penurunan bendera pada Minggu sore. Upacara yang sama di Chicago berlangsung di wisma kepala perwakilan RI di kawasan Winnetka dan dipimpin oleh Konjen RI Hidayat Kartahadimadja. Selain pemotongan tumpeng, rangkaian acara di wisma Winnetka diisi dengan pembagian hadiah bagi para pemenang berbagai perlombaan dalam rangka memperingati HUT ke-63 Kemerdekaan Indonesia. Acara `tumpengan` dan pembagian hadiah untuk para pemenang perlombaan juga dilakukan oleh KJRI Los Angeles setelah para warga Indonesia mengikuti upacara Detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945 di gedung KJRI yang dipimpin Konjen Subijaksono Sujono. Pada kesempatan tersebut, 20 anak Indonesia yang lahir di AS tampil memperlihatkan keterampilan baris-berbaris di bawah pelatihan seorang warga Indonesia. "Walaupun mereka sudah menjadi warga negara Amerika, mereka terlihat antusias ketika meneriakkan kata `merdeka!`, tentu dengan `lidah` yang sudah `Amerika` ketimbang `Indonesia`," kata Subijaksono. Di San Francisco, upacara berlangsung di halaman wisma Indonesia dan dipimpin oleh Konjen Yudhistiranto Sungadi. Syukuran berupa makan siang serta lomba karaoke, ikut mewarni perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia di San Francisco. Beberapa minggu menjelang 17 Agustus, komunitas Indonesia di San Francisco menggelar ajang "Indonesia Day", yang diisi dengan berbagai pertunjukan kesenian Indonesia serta bazaar makanan Indonesia yang antara lain menampilkan enam restoran Indonesia. Kegiatan yang diadakan di Union Square, San Francisco, dilaporkan dibanjiri oleh setkitar 4.000 orang, demikian menurut Yudhistiranto. (*)

Copyright © ANTARA 2008