Jakarta (ANTARA News) - Sekitar 1.500 atlet dari 205 negara tengah berjuang mencapai kejayaan di Olimpiade Beijing. Sejak pembukaan pada 8 Agustus, miliaran pasang mata manusia disuguhi atraksi memukau para atlet dunia. Beberapa diantaranya berhasil memecahkan lebih dari sembilan puluh kali rekor dunia dan merengkuh rekor Olimpiade baru di beragam cabang olahraga. Keagungan Olimpiade membuat banyak negara tak mau melewatkannya, bahkan televisi Kuba menyelenggarakan siaran 24 jam, seolah tak ingin berhenti menjadi saksi perjuangan para atlet mengharumkan bangsa dan negaranya. Sebaliknya, para atlet bertanding gigih guna meraih prestasi tertinggi yang energinya kerap berlipat karena godokan bara nasionalisme dan patriotisme. Patriotisme ini pula yang membuat atlet-atlet profesional kaya raya memiliki segalanya, seperti pesepakbola Argentina Lionel Messi, memaksa ikut Olimpiade hingga klub Barcelona yang memiliki kuasa hebat pun tak kuasa membendungnya. Pun demikian dengan pebasket profesional Asosiasi Bola Basket AS (NBA) Kobe Bryant yang mengaku bangga berlaga di Beijing dengan mengenakan kostum nasional AS. Kobe mengaku, mencetak prestasi puncak di Olimpiade lebih membanggakan ketimbang cincin juara NBA. "Medali emas (Olimpiade) sungguh berbeda karena kita bermain demi bangsa. Itu lebih dari segalanya," kata Kobe seperti dikutip AFP (7/8). Sebagian atlet menganggap kalungan medali dan kejayaan bahkan tidak lebih penting dari kebanggaan menjadi duta bangsa di arena olahraga termegah dunia ini. Aminata Diouf, pelari yang sehari-hari bekerja pada sebuah salon kecantikan di Senegal misalnya, mengaku sangat emosional bisa berperan serta di Olimpiade Beijing yang adalah Olimpiade ketiga yang ia ikuti. "Aku bagai duta besar yang sangat membanggakan (negeri). Rasa inilah yang memotivasiku berlatih mengeluarkan duaratus persen kemampuan diriku, hanya untuk memuaskan seluruh bangsaku," kata Aminata yang turun di nomor lari 100 meter puteri. Sementara, sprinter Palestina, Ghadeer Ghroof (17) ingin aksinya di Olimpiade Beijing bisa membuat dunia memperhatikan nasib bangsanya. "Aku mewakili Palestina, satu negara yang disebut orang sebagai negeri kacau. Negeriku tak sekacau itu karena masih memiliki orang-orang yang peduli dan terpelajar seperti kami. Saya akan buktikan semunya di Olimpiade," janji perempuan belia ini seperti dikutip VOA (16/6). Para atlet Olimpiade ini acap memberi lebih dari yang mereka berikan, terutama menaikkan citra dan gengsi negara, bahkan membuat dunia menjadi kenal pada negara mereka. Pada Olimpiade Seoul 1988 misalnya, negara Suriname tiba-tiba memasuki memori ratusan juta otak manusia begitu perenang kulit hitam Anthony Nesty (alm) mematahkan dominasi perenang kulit putih Eropa dan AS di kolam renang Olimpiade. Bahkan, Australia yang menjadi salah satu kekuatan politik terpenting dunia mengaku, aksi para pahlawan olahraga di berbagai turnamen internasional seperti Olimpiade dan Kejuaraan Dunia Renang telah membuat dunia makin mengenal Australia. "Saat dunia mengenal Australia, bagian terbesar dari wajah Australia terlihat dari olahragawan dan olahragawati kami yang berprestasi di arena-arena olahraga termasuk Olimpiade," kata Perdana Menteri Kevin Rudd (Xinhua, 4/8). Belakangan, Australia diidentikan dengan Olimpiade, khususnya dengan kolam renang yang telah melahirkan legenda-legenda hidup seperti Kieren Perkins, Ian Thorpe, Susan O`Neil dan kini Stephanie Rice. Kado Kido Bara patriotisme yang menyala dalam diri atlet ini acap sengaja dihidupkan oleh pacuan semangat dari para pejabat negara. "Sungguh perasaan yang tidak terlukiskan oleh apa pun saat kami melihat kalian berbaris naik podium. Kami jatuh cinta dan bangga pada kalian, pada negara kita, dan pada kejayaan-kejayaan kita," kata Presiden Rusia Dmitry Medvedev kepada 467 atletnya sebelum bertolak ke Beijing. Presiden AS George Bush bahkan tak sekedar melepas para atlet pergi ke Beijing. Ia hadir pula di arena untuk menyemengati para atletnya, termasuk saat calon atlet olimpiade terbesar sepanjang masa, perenang Michael Phelps, memperoleh emas pertama dari delapan emas yang diperolehnya atau melampaui rekor tujuh emas Mark Spitz pada Olimpiade Munich 1972. "Sebenarnya saya tak tahu apa yang mesti saya pesankan pada kalian, kecuali mulailah dengan mengatakan `Tuhan aku mencintai negaraku`," kata Bush (New York Times, 9/8). Tak heran, banyak atlet yang menganggap olimpiade sebagai momentum untuk menunjukkan darma dan baktinya pada Ibu Pertiwi. "Kita mesti berdiri sedikit lebih tinggi sambil meyakini seluruh bangsa ada di belakang kita. Sungguh, Olimpiade adalah satu cara agung untuk menunjukkan hormat dan bangga kita pada negara," kesan atlet pancalomba AS, Michelle "Mickey" Kelly. Yang mengagumkan, di era di mana rasa kebangsaan terus meluntur, atlet-atlet tetap menjadi sekumpulan manusia yang setia menunjukkan kebanggaannya pada negara, tak peduli mereka dari negara berkembang atau negara maju nan tua seperti Inggris. "Kami bangga menjadi orang Inggris. Ada dua orang Inggris di podium (kemenangan), apa lagi yang kami harapkan?" kata perenang Inggris Rebecca Adlington seusai meraih emas di nomor 400 meter gaya bebas puteri mengalahkan jagoan AS Katie Hoff dan Jo Jackson yang juga asal Inggris. Perasaan serupa diungkapkan pejudo Georgia, Irakli Tsirekidze, yang memenangi emas saat negerinya dilanda perang melawan separatisme sekaligus menghadapi intervensi negara tetangganya yang raksasa, Rusia. "Kemenangan ini amat berarti bagi negeriku...Aku telah membuktikan eksistensi Georgia kepada dunia lewat emas ini," aku Irakli. Irakli memenangi kelas 90 kg setelah di final mengandaskan pejudo Aljazair Amar Benikhlef. Sebelumnya di semifinal, Irakli benar-benar berperang melawan Rusia ketika harus menaklukan pejudo Rusia, Ivan Pershin. Energi kebangsaan yang menjiwai Irakli tertanam pula pada Usain Bolt, atlet Jamaika yang memenangi lari 100 meter, satu nomor bergengsi di cabang atletik yang selalu menjadi primadona Olimpiade mana pun. Tak hanya emas, Usain mencatat rekor dunia yang selama 40 tahun tak bisa terpecahkan. Ia finish dengan catatan waktu 9,69 detik. "Aku telah membuat negaraku bangga dan itulah tujuanku," kata Usain (BBC, 16/8). Di cabang bulutangkis, sekitar dua jam sebelum hari di mana Indonesia memperingati kemerdekaannya yang ke-63 pada 17 Agustus 2008, ganda putera Markis Kido dan Hendra Setiawan menghadiahi bangsa Indonesia medali emas Olimpiade yang diraih mereka dari satu pertandingan heroik melawan ganda putera China, Cai Yun/Fu Haifeng. "Saya senang bisa mempersembahkan medali emas pertama bulutangkis untuk Indonesia di Olimpiade ini. Besok (Minggu, 17/8) adalah Hari Kemerdekaan Indonesia. Kemenangan ini adalah kado ulang tahun untuk Hendra dan saya, dan bangsa Indonesia," pesan Markis Kido seperti dikutip Xinhua. Tak itu saja, bersama para peraih satu perak dan tiga perunggu, Markis/Hendra telah mengukuhkan posisi Indonesia untuk tetap berada di klub elite olahraga Asia, bahkan mungkin masih yang terbaik di Asia Tenggara. (*)

Oleh Oleh A. Jafar M. Sidik
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008