Yogyakarta (ANTARA News) - Keinginan pemerintah untuk melakukan ekspor beras pada 2009 sebaiknya dipikir kembali dan lebih baik mengutamakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri beserta kepentingan cadangan beras nasional. "Untuk melakukan ekspor tentu diperlukan kemantapan pasar dan jika kebutuhan terhadap beras tidak mampu dibendung melalui diversifikasi pangan, maka peningkatan produksi nasional lebih baik untuk cadangan dalam negeri dan cadangan pada saat kondisi mendesak, karena kelebihannya tidak banyak," kata pakar pertanian, Mochammad Maksum, di Yogyakarta, Kamis. Saat ini, kebutuhan beras di dalam negeri mencapai 135 kilogram per kapita per tahun dan jika kebutuhan tersebut tidak bisa dikurangi, kata Maksum, maka kelebihannya sangat kecil. "Riskan sekali kalau harus diekspor, sehingga lebih baik untuk cadangan saja," tegasnya. Namun demikian, Maksum, menggarisbawahi bahwa kunci keberhasilan peningkatan produksi pertanian terletak pada bagaimana pemerintah menjaga efektivitas subsidi. Karena jika efektivitas subsidi tidak terjaga, Maksum mengatakan, pemerintah tidak perlu berharap ada kenaikan produksi terlebih lagi kemampuan ekspor. Berdasarkan pidato kenegaraan presiden pada 15 Agustus dalam sidang DPR, dijanjikan peningkatan subsidi pertanian menjadi Rp 32 triliun, diluar anggaran operasional Departemen Pertanian sebesar Rp 8,3 triliun. Maksum menilai, dengan kenaikan anggaran tersebut pemerintah bertekad besar agar produksi beras nasional mencapai kisaran 63-64 juta ton pada 2009, jagung 18 juta ton dan kedelai 1,5 juta ton. Dari target tersebut, produksi beras masih menjadi prioritas utama karena alokasi subsidi tersebut akan digunakan dengan rincian Rp 20,5 triliun untuk pupuk, benih unggul Rp 1,5 triliun dan keperluan lain Rp 10 triliun. "Target tersebut menyejukkan tapi juga tanda tanya besar bagi perberasan nasional tentang efektivitas janji-janji, apalagi menjelang prosesi 2009," ujarnya. Menurut Maksum, keraguan tersebut didasarkan pada alasan yang kuat kendati presiden mengisyaratkan pentingnya kedaulatan pangan, namun segala perampasan dan pemasungan terhadap kedaulatan rakyat tani masih terpatri dalam benak rakyat tani. Seperti yang terjadi musim lalu dengan adanya keterlambatan pupuk bersubsidi, benih unggul sulapan, irigasi yang tidak berfungsi, tataniaga yang merugikan rakyat tani dan obat-obatan palsu. "Gangguan-gangguan tersebut berkait dengan rusaknya birokrasi dan bisa mengacaukan produksi nasional. Tetapi itulah yang sering terjadi sehingga gairah dan kedaulatan rakyat tani dalam produksi sudah teramat sering terganggu dengan tidak ditepatinya janji-janji itu," katanya. Jika dana alokasi sebesar Rp 32 triliun yang sudah dijanjikan tersebut dialokasikan dan terjaga efektivitasnya sampai ke sasaran yang benar dan terhindar dari segala manipulasi dan korupsi, maka Maksum menilai, target produksi beras bisa dipenuhi.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008