Jakarta (ANTARA News) - Kalangan pekerja dan buruh menilai Kebebasan Berserikat di Indonesia status quo atau masih jauh dari harapan sekalipun pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi pokok ILO No.87 tentang Kebebasan Berserikat 10 tahun lalu. Hal tersebut mengemuka dalam Forum Publik mengenai Kebebasan Berserikat "Kilas Balik dan Tantangan ke Depan" yang diselenggarakan oleh ILO di Jakarta, Kamis. "Dengan adanya UU no.21/2000 secara formal kebebasan berserikat sudah ada, kebebasan berserikat secara hukum tidak ada masalah namun realitanya berbeda," kata Ketua Umum Partai Buruh yang juga mantan Ketua Umum Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Mochtar Pakpahan. "Menurut saya UU No.13/2004 adalah simbol dari kemenangan neoliberalisme," ujarnya. Mochtar menilai kebebasan berserikat akan sulit diwujudkan dengan adanya UU No.13/2004 itu karena UU itu memperlemah serikat buruh dan sepanjang serikat buruh lemah maka tidak mungkin buruh akan makmur. Ia juga mengatakan salah satu alasannya mendirikan Partai Buruh adalah untuk mendorong pencabutan atau revisi UU No.13/2004 agar tidak merugikan buruh. "Saya lihat belum ada partai lain yang berusaha untuk melakukan itu," katanya. Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Thamrin Mosi mengatakan bahwa pelaksanaan kebebasan berserikat masih jauh dari harapan karena lemahnya penegakan hukum dan pengawasan. Dia juga mengatakan masih terdapat sejumlah kasus premanisme yang ditujukan pada para aktivis buruh. Lebih lanjut dia juga mengatakan bahwa jumlah serikat buruh atau pekerja bukan merupakan faktor utama. "Seribu serikat buruh pun tidak apa-apa, yang penting kompak karena ketidakkompakan adalah simbol kelemahan," ujarnya. Ia juga mengeluhkan sistem kontrak yang terdapat dalam UU No.13/2004 karena mengakibatkan serikat pekerja sulit mendapat anggota tetap. "Baru dua atau tiga bulan bergabung sudah harus pindah," katanya. Sementara itu, Ketua Komite Kebebasan Berserikat ILO Paul Van Der Heijden mengatakan bahwa jika dibandingkan dengan 10 tahun lalu Indonesia mengalami banyak kemajuan dalam hal kebebasan berserikat. "Yang jelas iklim perburuhan berubah dan saat ini telah ada infrastruktur dan perangkat legal yang sesuai dengan dua konvensi ILO," katanya seraya merujuk pada tiga perundang-undangan ketenagakerjaan utama. Dia mengaku mendapat laporan bahwa pelaksanaan konvensi ILO selama lima tahun terakhir di Indonesia mengalami banyak kemajuan. "Implementasinya baik sekalipun masih perlu dikritik," ujarnya. Menurut dia, bagaimana pun harus diakui bahwa 10 tahun lalu tidak ada forum bipartit atau tripartit untuk menyelesaikan perselisihan dan masih banyak ditemui campur tangan militer. "Secara umum sekarang saya melihat ada kebebasan, bahkan untuk melakukan pemogokan, tanpa intervensi pemerintah atau polisi. ...Tentu ada masalah tetapi pada umumnya ada kemajuan dan perbaikan," katanya dan menegaskan bahwa semua pihak tetap harus terus mendorong pencapaian kondisi yang lebih baik. Perwakilan dari Apindo Hasanuddin Rachman mengatakan bahwa keadaan di Indonesia 10 tahun terakhir terbukti jauh lebih baik. Dia juga menjelaskan bahwa berdasarkan UU yang ada di Indonesia maka sektor formal tidak diperbolehkan mempekerjakan anak-anak. Ratifikasi Konvensi ILO 87 oleh Indonesia dilakukan pada 1998 yang merupakan tahun bersejarah bagi Indonesia yang juga menandai kelahiran kembali demokrasi. Tiga perundang-undangan ketenagakerjaan utama adalah UU Serikat Pekerja, UU Ketenagakerjaan dan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Kendati demikian sejumlah tantangan besar masih menghadang dan masih diperlukan upaya perbaikan. Pelanggaran terhadap kebebasan berserikat di tempat kerja, seperti pengusaha yang melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pengurus serikat, penangkapan anggota serikat saat melakukan protes di tempat umum, dan penolakan perusahaan untuk menjalankan perjanjian kerja bersama masih acapkali terjadi dan dilaporkan. Jumlah perjanjian kerja bersama pun masih terbilang rendah. Terdapat kebutuhan untuk mempromosikan dan memperkuat perjanjian bersama guna memastikan perundingan yang adil antara pekerja dan pengusaha serta memperkenalkan fleksibilitas dalam pasar kerja. Selama lebih dari lima tahun hubungan industrial di Indonesia telah melangkah maju akibat reformasi 1998 dan ratifikasi Konvensi Kebebasan Berserikat ILO. Namun masih ada kebutuhan untuk terus mempromosikan hak atas kebebasan berserikat dan perundingan bersama serta terus membangun upaya dan komitmen yang berkelanjutan guna memastikan Indonesia senantiasa berada dalam langkah reformasi dan sepenuhnya mewujudkan hak-hak dasar itu. Indonesia merupakan negara pertama di Asia dan kelima di dunia yang meratifikasi kedelapan konvensi-konvensi pokok ILO. Sejak menjadi anggota PBB pada 1950 Indonesia telah meratifikasi 18 konvensi.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008