Surabaya (ANTARA) - Peneliti Surabaya Survey Center (SSC) Surokim Abdussalam menilai pihak eksekutif maupun legislatif tidak perlu "baper" alias bawa perasaan menjelang kontestasi Pilkada Surabaya yang akan digelar 23 September 2020.

"Biasa saja menjelang kontestasi Pilkada 2020 suhu politik selalu meningkat secara otomatis, jadi tetap harus pakai nalar politik sehat dan konstruktif," kata Surokim di Surabaya, Selasa.

Diketahui suhu politik di Surabaya dalam sepekan ini sempat memanas menyusul adanya pernyataan dari Politikus NasDem sekaligus Sekretaris Fraksi Partai Demokrat-NasDem, Imam Syafii saat rapat paripurna DPTRD Surabaya dengan agenda jawaban wali kota atas pandangan fraksi-fraksi terkait RAPBD Surabaya 2020 beberapa hari lalu.

Imam saat itu sempat mengkritisi Kepala Bappeko Surabaya Eri Cahyadi yang dinilai pencitraan karena sering turun ke lapangan karena dimungkinkan bakal ikut Pilkada Surabaya 2020. Pernyataan tersebut mendapat respons keras dari Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dengan meminta semua pejabat di Sekretrais Daerah, Asisten, dan kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tidak berbicara atau memberikan statemen ke media massa.

Persoalan menjadi melebar setelah adanya isu perpecahan di internal Pemkot Surabaya yang kemudian direspons juga oleh sejumlah pejabat Pemkot Surabaya dan para politikus di DPRD Surabaya.

"Reaksi emosional hanya akan menjauhkan substansi yang dicoba komunikasikan. Saya khawatir kalau responsnya tidak proporsional malah akan bisa memacetkan komunikasi keduanya dan itu tidak fungsional bagi pembangunan Kota Surabaya," kata Surokim.

Baca juga: Ahmad Dhani bantah maju Pilkada Surabaya 2020

Baca juga: Garda Bangsa jagokan Hanif Dhakiri maju Pilkada Surabaya 2020

Baca juga: Istri mantan wali kota daftar calon wali kota Surabaya 2020 di PDIP


Menurut Surokim, kalau dalam teknik komunikasi publik memang ada perbedaan antara memukul dan mencubit, para politisi biasanya memahami soal rasa itu. Begitu juga para eksekutif juga sama harus proporsional.

"Saya pikir tidak fungsional juga birokrat kota diminta diam dan menghindari media karena akan berkaitan dengan hak publik untuk tahu dan untuk partisipasi warga dalam pembangunan kota," kata Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Universitas Trunojoyo Madura (UTM) ini.

Untuk itu, ia berharap semua bisa merespons dengan elegan untuk edukasi politik warga dan ruang publik tidak gaduh yang mana justru bisa disfungsional untuk politik Kota Surabaya. "Mari kembali pada takarannya jangan berlebihan, positif thinking jangan semua gaduh karena apa-apa dikaitkan Pilkada 2020 jadinya politik penuh curiga," ujarnya.

Surokim mengatakan ruang publik sampai saat ini masih didominasi oleh eksekutif dan legislatif, jadi kewajiban keduanya adalah untuk memelihara ruang itu agar fungsional untuk edukasi politik kepada warga.

"Positif tidaknya ruang itu amat bergantung kepada respons dua aktor di eksekutif dan legislatif itu. Jadi mari kembangkan sikap respons yang proporsional dan elegan.

Kian baper, kian panas dan kian sulit menemukan titik temu, menurut Surokim, biasanya malah akan menggelinding menyasar yang bukan substantif. Apalagi panggung ini disimak warga juga sehingga ada kewajiban keduanya untuk bisa elegan dan proporsional.

"Jangan sampai merugikan kepentingan publik dan juga mendistorsi ruang publik warga kota," katanya.

Pewarta: Abdul Hakim
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019