Yogyakarta (ANTARA News) - Kepala Daerah di Kabupaten/Kota maupun di Provinsi yang mencalonkan diri kembali sebagai kepala daerah (incumbent) harus memiliki etika untuk mundur dari jabatan demi pendewasaan demokrasi. "Meski secara Yuridis Formal Majelis Konstitusi (MK) menganulir ketentuan calon 'incumbent' harus mundur dari jabatannya, tetapi secara etika mestinya mereka lapang dada untuk mundur," kata Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Arie Sujito Msi, Minggu. Calon "incumbent" yang tidak mundur rawan menyalahgunakan kekuasaan termasuk menggunakan fasilitas negara dan publik untuk kepentingan kampanye maupun untuk upaya pemenangan Pilkada. "Realita yang ada selama ini menunjukkan kesadaran demokrasi elite politik masih sangat kurang dan dipastikan mereka akan menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan dirinya termasuk menggunakan fasilitas publik," kata Arie. Secara yuridis formal memang tidak ada kewajinan "incumbent" untuk mundur tetapi karena selama ini kesadaran untuk tidak menggunakan fasilitas negara dan publik masih rendah maka mereka mestinya menjunjung etika untuk mundur. "Peluang untuk menyalahgunakan kekuasaan untuk tujuan kemenangan sangat besar karena aturan yuridis formal tidak mengatur masalah ini dan hanya berhitung masalah hak calon saja," katanya. Jika hanya mengandalkan kemauan dan niat baik calon "incumbent" maka tak ada jaminan penyalahgunaan kekuasaan tak terjadi karena elite politik tentu ingin merekayasa dan mengaburkan penyalahgunaan kekuasaan itu. "Calon 'incumbent' harus mundur dulu sehingga godaan menggunakan dan menyalahgunakan kekuasaan dikurangi dan etika dipegang," katanya. Masyarakat juga harus melakukan kontrol dan berani melakukan gerakan tidak memilih calon jika penyalahgunaan kekuasaan telah berlangsung. "Panitia Pengawas (Panwas) juga harus berfungsi optimal," saran Arie. (*)

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008